Kamis, 15 Juni 2017

SEBUAH KELUARGA PENGUNGSI SURIAH SEDANG MENANTI

40 HARI MENGASIHI BANGSA DALAM DOA -- JUMAT, 9 JUNI 2017

SEBUAH KELUARGA PENGUNGSI SURIAH SEDANG MENANTI

Di sebuah kamp Pengungsian Militer di Yunani, kami berjumpa satu keluarga Kurdi yang kisahnya menggambarkan keadaan keluarga-keluarga lain di kamp itu. Aza, sang ayah, bekerja sebagai pengemudi taksi, dan Gilya, sang istri, merawat Mohamed, berusia 12 tahun, Hadidja, 8 tahun, dan si kecil lbrahim, yang baru berusia 3 tahun. Kediaman mereka di Alepo, Suriah, hancur oleh serangan bom dalam masa perang, yang membuat mereka mengambil keputusan mencari tempat yang lebih aman untuk hidup di suatu tempat di Eropa, terutama di Jerman.

Mereka menempuh perjalanan melintasi perbatasan Turki, lalu menemukan jalan ke Izmir dan Laut Mediterania. Di sana, Aza membayar €5,000 (saat itu, kurang lebih setara dengan £4,000) kepada para penyelundup yang biasa membawa orang ke suatu tempat dengan menggunakan sebuah perahu karet. Dengan aman, mereka mencapai pantai Yunani, terdampar di desa perbatasan Idomeni, hanya berselang beberapa hari setelah perbatasan itu ditutup. Setelah menunggu di kamp perbatasan selama tiga bulan, mereka dibawa ke kamp militer untuk menunggu dilakukan pendataan dan berharap diberikan status sebagai pengungsi.

Di kamp-kamp tersebut, keluarga kami menempati sebuah tenda, sementara menunggu tersedianya tempat hunian yang lebih baik. Makanan adalah kebutuhan utama, tetapi tidak ada yang bisa dilakukan kecuali hanya menunggu bantuan. Sebuah organisasi nonpemerintah di kamp tersebut memulai sebuah sekolah untuk anak-anak. Sebelum pecah perang, Mohamed bersekolah hanya selama dua tahun. Hadidja tidak pernah bersekolah, sedangkan Ibrahim lahir pada masa perang dan tidak mengerti apa pun dalam kehidupannya yang masih sangat muda. Mohamed telah belajar bahasa lnggris dari para relawan, dan sesekali bertindak sebagai penerjemah bagi keluarganya.

Keluarga tersebut telah menggunakan sebagian besar tabungan mereka untuk melarikan diri dari Suriah, dan Aza merasa tertekan karena dia tidak lagi bisa memelihara keluarganya. Gilya berusaha untuk mempertahankan kelangsungan hidup keluarganya, kadang-kadang dengan meminjam nampan masak untuk membuat makanan tambahan, dan ia berusaha merawat tenda, pakaian dan menjaga anak-anak supaya tetap bersih. Terlepas bagaimana semua pengalaman hidup yang mereka jalani, tetapi kami sebagai keluarga pengungsi masih tetap senang untuk menyambut orang-orang yang datang kepada kami atau kami mengunjungi mereka, dan setidaknya menawarkan teh atau kopi sementara mereka menantikan kehidupan mereka akan bangkit kembali.

Mari kita berdoa:

- Agar orang-orang Kristen terus melakukan pembimbingan dan melayani kebutuhan para pengungsi yang sedang menunggu di kamp-kamp seperti ini.

- Untuk ”para penolong" yang bisa berbicara dalam bahasa para pengungsi dan dapat berkomunikasi dengan mereka dari hati ke hati.

- Agar anak-anak pengungsi dapat memiliki kesempatan memperoleh pendidikan dan menikmati masa kanak-kanak mereka sewajarnya.

Tidak ada komentar: