Rabu, 21 Juni 2017

MENGAMATI BUDAYA "RASA MALU DAN HORMAT"

40 HARI MENGASIHI BANGSA DALAM DOA -- SELASA, 30 MEI 2017

MENGAMATI BUDAYA "RASA MALU DAN HORMAT"

Saya dibesarkan di sebuah komunitas Muslim yang dikendalikan oleh budaya ”rasa malu dan hormat". Sebagai seorang anak, saya belajar bahwa saya harus menghindari perilaku yang bisa menyebabkan timbulnya gosip tentang saya oleh kaum wanita dalam masyarakat. Pada suatu hari, saya mendengar sekelompok "tante/bibi" berbicara tentang seorang kenalan yang telah diizinkan untuk belajar ke universitas, di mana ia telah memotong rambutnya dan menikah dengan seorang pria tanpa sepengetahuan orangtuanya. Dari tanggapan mereka, saya mengira pria itu pastilah seorang non-Muslim, tetapi percakapan itu berlanjut dengan menyatakan bahwa pria tersebut adalah seorang Muslim berkebangsaan Arab yang menyandang gelar di bidang hukum. Saya bingung dengan gosip ini dan rasa malu yang menimpa keluarga tersebut akibat gosip ini.

Izzat (hormat) dan sharm (rasa malu) menjadi konsep yang lazim diketahui orang, bahkan dalam budaya-budaya yang tidak mempraktikkan konsep tersebut, karena liputan media atas kejahatan-kejahatan yang dilakukan demi menjaga kehormatan. Orang-orang Barat yang bekerja lintas budaya dengan orang-orang Muslim akan sering mendengar kata-kata ”hormat” dan ”cela” (”malu”), tetapi mereka tidak selalu mengerti sepenuhnya apa yang dimaksudkan dengan kedua kata tersebut. Rasa malu dan hormat merupakan cara yang diterapkan oleh kebanyakan masyarakat untuk mengendalikan perilaku anak-anak dan orang dewasa di dunia Muslim. Penerapan ”rasa malu” atau ”hormat” diputuskan oleh para pemimpin masyarakat suku atau agama yang mendorong orang untuk menyesuaikan diri dengan perilaku-perilaku yang diterima masyarakat.

Hal ini juga terjadi dalam budaya non-Muslim. Di negara-negara Barat, penerapan hukum membuat orang merasa bersalah dan pelaku kejahatan tertentu dikucilkan oleh komunitas mereka. Kami melakukan ini untuk melindungi diri terhadap dampak negatif pada masyarakat. Akan tetapi, pesan Yesus adalah bahwa Tuhan memiliki kekuatan dan keinginan untuk mengangkat kita semua dari posisi rendah ke tempat yang sangat terhormat (Matius 5:3). Ini adalah berita baik bagi mereka yang tinggal di lingkup masyarakat yang memberlakukan ”budaya rasa malu".

Mari kita berdoa:

- Dalam 1 Samuel 2:8, dikatakan bahwa, Tuhan membangkitkan orang yang hina dari dalam debu dan mengangkat orang yang miskin dari dalam lumpur, untuk mendudukkan dia bersama-sama para bangsawan, dan membuat dia memiliki kursi kehormatan. Berdoa agar terjadi penyataan/ilham tentang Kabar Baik ini dalam lingkup kebudayaan di tempat Kabar Baik ini tidak dikenal.

- Agar Tuhan menyingkapkan pengertian dalam pemahaman saudara tentang rasa malu dan kehormatan, dan bagaimana saudara dapat merefleksikan Tuhan yang berfirman: Sesungguhnya Aku meletakkan di Zion sebuah batu yang terpilih, sebuah batu penjuru yang mahal, dan siapa yang percaya kepada-Nya tidak akan dipermalukan. (1 Petrus 2:6).

- Bagi mereka yang ada di sekitar saudara yang sedang mencari keadilan bagi para korban kejahatan yang dilakukan demi menjaga kehormatan.

Tidak ada komentar: