40 HARI MENGASIHI BANGSA DALAM DOA -- JUMAT, 9 JUNI 2017
SEBUAH KELUARGA PENGUNGSI SURIAH SEDANG MENANTI
Di
sebuah kamp Pengungsian Militer di Yunani, kami berjumpa satu keluarga
Kurdi yang kisahnya menggambarkan keadaan keluarga-keluarga lain di kamp
itu. Aza, sang ayah, bekerja sebagai pengemudi taksi, dan Gilya, sang
istri, merawat Mohamed, berusia 12 tahun, Hadidja, 8 tahun, dan si kecil
lbrahim, yang baru berusia 3 tahun. Kediaman mereka di Alepo, Suriah,
hancur oleh serangan bom dalam masa perang, yang membuat mereka
mengambil keputusan mencari tempat yang lebih aman untuk hidup di suatu
tempat di Eropa, terutama di Jerman.
Mereka
menempuh perjalanan melintasi perbatasan Turki, lalu menemukan jalan ke
Izmir dan Laut Mediterania. Di sana, Aza membayar €5,000 (saat itu,
kurang lebih setara dengan £4,000) kepada para penyelundup yang biasa
membawa orang ke suatu tempat dengan menggunakan sebuah perahu karet.
Dengan aman, mereka mencapai pantai Yunani, terdampar di desa perbatasan
Idomeni, hanya berselang beberapa hari setelah perbatasan itu ditutup.
Setelah menunggu di kamp perbatasan selama tiga bulan, mereka dibawa ke
kamp militer untuk menunggu dilakukan pendataan dan berharap diberikan
status sebagai pengungsi.
Di
kamp-kamp tersebut, keluarga kami menempati sebuah tenda, sementara
menunggu tersedianya tempat hunian yang lebih baik. Makanan adalah
kebutuhan utama, tetapi tidak ada yang bisa dilakukan kecuali hanya
menunggu bantuan. Sebuah organisasi nonpemerintah di kamp tersebut
memulai sebuah sekolah untuk anak-anak. Sebelum pecah perang, Mohamed
bersekolah hanya selama dua tahun. Hadidja tidak pernah bersekolah,
sedangkan Ibrahim lahir pada masa perang dan tidak mengerti apa pun
dalam kehidupannya yang masih sangat muda. Mohamed telah belajar bahasa
lnggris dari para relawan, dan sesekali bertindak sebagai penerjemah
bagi keluarganya.
Keluarga
tersebut telah menggunakan sebagian besar tabungan mereka untuk
melarikan diri dari Suriah, dan Aza merasa tertekan karena dia tidak
lagi bisa memelihara keluarganya. Gilya berusaha untuk mempertahankan
kelangsungan hidup keluarganya, kadang-kadang dengan meminjam nampan
masak untuk membuat makanan tambahan, dan ia berusaha merawat tenda,
pakaian dan menjaga anak-anak supaya tetap bersih. Terlepas bagaimana
semua pengalaman hidup yang mereka jalani, tetapi kami sebagai keluarga
pengungsi masih tetap senang untuk menyambut orang-orang yang datang
kepada kami atau kami mengunjungi mereka, dan setidaknya menawarkan teh
atau kopi sementara mereka menantikan kehidupan mereka akan bangkit
kembali.
Mari kita berdoa:
-
Agar orang-orang Kristen terus melakukan pembimbingan dan melayani
kebutuhan para pengungsi yang sedang menunggu di kamp-kamp seperti ini.
- Untuk ”para penolong" yang bisa berbicara dalam bahasa para pengungsi dan dapat berkomunikasi dengan mereka dari hati ke hati.
- Agar anak-anak pengungsi dapat memiliki kesempatan memperoleh pendidikan dan menikmati masa kanak-kanak mereka sewajarnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar