SUKU KUTAI
Suku Kutai hidup tersebar di sepanjang pantai timur
Kalimantan Timur, yang sebagian disebabkan karena gaya hidup mereka yang
sering berpindah. Tenggarong merupakan pusat pemukiman mereka saat ini,
sama seperti ketika Mulawarman memerintah di ibu kota kerajaan Kutai.
Kota ini terletak di tepi sungai Mahakam, sekitar 45 km sebelah barat
laut Samarinda. Kerajaan Kutai sendiri merupakan kerajaan Hindu tertua
di Indonesia. Bahasa yang digunakan oleh orang Kutai adalah bahasa
Kutai, yang merupakan salah satu cabang dari kelompok bahasa Melayu.
Orang
Kutai tinggal di berbagai kecamatan di kabupaten Kutai Tenggara,
kabupaten kota Tenggarong, dan kabupaten Kutai Barat. Umumnya, orang
Kutai memiliki mata pencaharian sebagai petani, nelayan, dan pemburu.
Karena Kalimantan Timur merupakan provinsi terkaya dan Kutai Tenggara
adalah kabupaten terkaya di Indonesia, motif ekonomi jarang membuat
orang Kutai meninggalkan daerah asal mereka untuk merantau. Walaupun
demikian, terdapat tingkat kesejahteraan yang tidak merata di antara
orang Kutai karena adanya kesenjangan dalam tingkat pendapatan.
Beberapa
orang Kutai di pedalaman masih mengikuti sistem hukum tradisional.
Hukum Kutai tradisional memiliki beberapa pemimpin penting dalam adat
mereka: pemimpin desa yang melakukan upacara adat, kepala keamanan, dan
pelindung warisan kekayaan. Pemerintah mengakui peran dari para pemimpin
tersebut, dan menyebut mereka petinggi ("yang berjabatan tinggi"). Pada
masa lalu, Kutai memiliki sistem kelas sosial yang mencakup bangsawan,
orang-orang biasa, dan budak. Pada saat ini, penghormatan diberikan
kepada seseorang berdasarkan pendidikan dan kekayaannya, dan bukan gelar
mereka. Orang Kutai memiliki beragam upacara adat. Pesta Erau merupakan
salah satu upacara terbesar, yang diselenggarakan setiap tahun untuk
memperingati berdirinya kota Tenggarong. Pesta ini berlangsung selama
lima hari dan lima malam. Kumpulan orang Dayak datang, bahkan dari
desa-desa yang sangat terpencil, dan melakukan berbagai jenis tarian
yang menarik, seperti tari Kancet Pepati (tarian prajurit), Kancet Ledo
(tari gong), Datun, Leleng, Gantar, dan Pilin Tali. Sebuah boneka naga
dilemparkan ke sungai Mahakam pada puncak upacara tersebut. Hal itu
merupakan simbol orang Kutai dalam meminta berkah untuk kekayaan dan
kemakmuran dari nenek moyang mereka.
Umumnya, orang Kutai
beragama Islam. Namun, dalam kehidupan sehari-hari, mereka masih
menyembah roh-roh. Pusaka kerajaan tertentu dianggap sakral, seperti
mahkota emas yang dihiasi dengan permata, kalung uncal, kalung bergambar
Wisnu (Dewa Hindu), dan kalung dengan dua burung mitos. Keyakinan orang
Kutai berfokus pada upaya mencari perlindungan dari Sanghyang (kata
Hindu untuk roh) melalui kekuatan gaib, dengan memenuhi tuntutan dan
mengendalikan kedua roh, baik roh jahat maupun roh baik.
Sebelumnya,
orang-orang Kutai beragama Hindu dan mereka disebut "Kaharingan". Namun
kemudian, kebanyakan orang di wilayah Kutai telah berpaling ke Islam.
Hal ini mengakibatkan banyak pencampuran paham antara agama Islam dan
Hindu. Perubahan suku Kutai secara drastis setelah masuk Islam hampir
menghapus jejak asal muasalnya, yaitu suku Lawangan. Kebudayaan Melayu
yang dianggap lebih "beradab", membantu menghilangkan budaya Dayak pada
suku Kutai dengan cepat. Istilah "haloq" yang melekat pada suku Kutai
yang berarti "meninggalkan adat lawas" digunakan sebagai kebanggaan bagi
yang ber"haloq". Akan tetapi, bagi suku Tunjung-Benuaq, istilah itu
sebagai stigma karena tidak menghargai warisan leluhur sehingga Kutai
kehilangan jejak Kaharingan/Lawangan, walaupun sebagian kecil ada yang
tersisa. Akibatnya, orang lebih yakin Kutai adalah Melayu, padahal tidak
demikian. Tentu saja segala hal dalam adat lawas dianggap syirik
(bertentangan dengan agama), jadi harus dimusnahkan dan ditinggalkan.
Dalam
kehidupan orang Kutai, masalah terbesar yang mereka hadapi adalah
ketiadaan infrastruktur dalam sarana transportasi, khususnya bagi
penduduk yang tinggal di daerah terpencil. Sarana transportasi ini
mereka perlukan untuk mengangkut hasil panen dan komoditas desa ke
pasar. Saat ini, modal utama transportasi adalah melalui jalur laut dan
sungai karena jalur transportasi darat sangat sulit untuk dilewati.
Populasi : 368.000 jiwa
Bahasa : Kutai, Melayu, Banjar
Anggota Gereja: 0,03 persen (data 2001)
Alkitab : Tidak Ada
Film Yesus : Tidak Ada
Radio : Tidak Ada
Rekaman Penginjilan : Tidak Ada
Untuk menjangkau suku Kutai, bahan-bahan berikut ini kiranya dapat kita gunakan sebagai referensi:
a. Katalog online etnologi untuk bahasa Kutai: http://www.language-archives.org/language/vkt
b. Profil suku Kutai di situs SABDA: http://misi.sabda.org/suku-tenggarong-kutai-kalimantan-timur
c. Profil suku Kutai di situs wikipedia: http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Kutai
POKOK DOA
1.
Mari berdoa kepada Yesus Kristus bagi peningkatan kesejahteraan,
pendidikan, dan wawasan lingkungan bagi orang Kutai, agar mereka dapat
menikmati dan mengelola sumber daya alam berlimpah yang ada di tempat
mereka dengan baik dan bijaksana.
2. Doakan agar semakin banyak
misionaris atau orang Kristen yang tergerak untuk memberitakan Injil di
tengah-tengah orang Kutai, agar mereka juga turut mendapatkan jalan
untuk menerima anugerah keselamatan yang kekal.
3. Berdoalah
kepada Tuhan Allah supaya Roh Kudus bekerja dalam setiap usaha
penginjilan yang sedang berlangsung di tengah masyarakat Kutai, serta
menyiapkan hati mereka untuk mendengar dan menerima Injil.
Dirangkum dari:
1. _____. "Kutai". Dalam http://joshuaproject.net/people_groups/13445/ID#
2. _____. "Suku Kutai". Dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Kutai
3. _____. "Suku Tenggarong Kutai (Kalimantan Timur)". Dalam http://misi.sabda.org/suku-tenggarong-kutai-kalimantan-timur
Tidak ada komentar:
Posting Komentar