ARTIKEL DOA: DOA-DOA DALAM PERJANJIAN LAMA
Perjanjian Lama memuat
banyak kisah tentang orang yang tekun berdoa. Ada orang yang berdoa
karena berada dalam mara bahaya, meminta kelepasan dari Tuhan, memohon
pengampunan atas dosa-dosanya, dan meminta pertolongan supaya dilepaskan
dari jerat Iblis. Peristiwa semacam ini tentulah menunjukkan bahwa ada
Allah yang hidup, bahwa IA ADA dan selalu ADA sepanjang masa. Ia hadir
dan senantiasa berkomunikasi dengan manusia yang diciptakan-Nya. Dia
tidak berubah. Hati manusialah yang selalu berubah-ubah.
Permohonan Orang yang Tidak Mengakui Allah
Perjanjian
Lama bertutur mengenai permohonan seorang raja Mesir yang bergelar
Firaun. Firaun tidak percaya kepada Tuhan yang disembah oleh orang
Israel, yang hidup di tengah-tengah mereka sebagai bangsa yang
diperhamba. Namun, ia mengakui keberadaan dan kekuasaan Tuhan melebihi
kekuasaannya. Dengan sikap agak merendah, Firaun meminta Musa dan Harun
untuk berdoa kepada Tuhan. Tuhan yang disembah oleh Bangsa Israel
dianggap Firaun sebagai Allah yang dapat menolak bala. Firaun meminta
dengan sangat kepada Musa supaya mereka dilepaskan dari gangguan katak
yang memenuhi tempat yang dihuni orang Mesir (Keluaran 8:8).
Konsep
apa yang diakui oleh Firaun melalui permohonan ini? Barangkali, ia
masih tetap percaya bahwa kemampuan Musa dan Harun menghalau dan menolak
bala berupa katak itu, serupa dengan kemampuan ahli sihir yang ada di
istananya. Hanya, ia menyadari bahwa Allah orang Israel lebih hebat
daripada allah yang mereka sembah. Ia berpikir dalam konsep kekuatan
yang bersaing. Sesungguhnya, Firaun tidak menganggap Allah yang disembah
Bangsa Israel itu sebagai Allah yang hidup
sama seperti allah atau
dewa mereka (karena mereka ciptakan sendiri). Para petenung, dukun,
orang pintar pada masa kini pun menggunakan cara yang sama seperti yang
digunakan oleh Firaun. Bahkan, banyak juga pengajar agama yang
memperlakukan Allah sebagai 'alat' untuk memaksakan kemauan mereka
ketika mereka berdoa, seolah-olah Allah dapat dipaksa dengan bujuk rayu
manusia, sekadar untuk menolak bala atau "mengusir setan" yang hinggap
ke dalam tubuh manusia.
Apakah permohonan Firaun yang tidak
mengakui Allah Bangsa Israel itu dikabulkan? Nyatanya, Allah yang hidup,
yang disembah umat Allah melalui hamba-Nya, mengabulkannya juga. Doa
Musa dan Harun dikabulkan oleh Allah, demi kebaikan bagi Firaun. Doa
yang dikabulkan ini tidak membuat Firaun menepati janjinya, dan ia pun
mempermainkan Musa dan Harun sebagaimana ia mempermainkan tukang-tukang
sihirnya, menurut kehendak dan kekuasaannya. Sekali lagi, Firaun membuat
Musa dan Harun sebagai 'alat' yang tidak lebih daripada para ahli
sihirnya.
Permohonan Firaun adalah doa kaum politikus dengan pertimbangan kekuasaan.
Doa untuk Memulihkan Negeri yang Diancam Kehancuran
Nehemia
selalu membayangkan kembali negeri leluhurnya. Bangsa Israel sudah
ditaklukkan oleh orang Babilon dan dicerai-beraikan ke pelbagai penjuru
dunia. Tembok-tembok Yerusalem sudah terancam roboh. Semua kemelut dan
penderitaan yang dialami umatnya adalah akibat kesalahan dan dosa
mereka. Mereka ingkar dari Tuhan. Hukuman yang amat berat dijatuhkan
kepada mereka. Penderitaan itu puluhan tahun. Akankah Tuhan membiarkan
umat-Nya binasa dan hilang lenyap dari sejarah umat manusia? Nehemia
bertanya-tanya di dalam dirinya. Oleh karena itu, ia berdoa.
"Berilah
telinga-Mu dan bukalah mata-Mu dan dengarkanlah doa hamba-Mu yang
sekarang kupanjatkan ke hadirat-Mu siang dan malam bagi orang Israel,
hamba-hamba-Mu itu, dengan mengaku segala dosa yang kami orang Israel
telah lakukan terhadap-Mu. Juga aku dan kaum keluargaku telah berbuat
dosa" (Nehemia 1:6) Nehemia berdoa bukan untuk dirinya sendiri. Ia ingin
memulihkan "Rumah Tuhan" yang terbengkalai dan tidak ada yang
mengurusnya. Rumah Tuhan telah menjadi sarang penyamun, menjadi tempat
binatang buas, dan orang-orang yang tidak peduli kepada Allah yang
disembah Bangsa Israel. Apakah Bangsa Israel yang berada di pembuangan
itu akan membiarkan Yerusalem menjadi padang ilalang atau menjadi padang
tandus? Tanggung jawab siapa pemulihan kota Tuhan?
Ratapan atas
dosa dan kesalahan masa lalu telah disampaikan melalui doa. Sisa umat
yang berada di pembuangan berdoa dan sepakat untuk memohon pertolongan
Tuhan agar identitas Tuhan Allah dipulihkan di negeri leluhur mereka, di
Yerusalem dan sekitarnya. Bala bantuan dari mereka yang 'makmur' di
pembuangan, mereka yang sudah terlalu tua untuk kembali ke negeri
leluhur membantu dengan mengumpulkan dana, dan menyokong usaha Nehemia
untuk membangun kembali Rumah Tuhan. Yang masih mau kembali berusaha
mengumpulkan dana, yang sudah tua renta juga bekerja keras mengumpulkan
dana, sementara orang-orang yang berhasil mencapai kedudukan yang tinggi
di pemerintahan berusaha mengimbau penguasa tertinggi agar membantu
pembangunan itu. Doa dan usaha berdampingan. Dan, Nehemia pun memiliki
tekad yang bulat untuk memulihkan kedaulatan Tuhan di negeri yang telah
diruntuhkan dan dihancurkan.
Doa Nehemia ini selaras dengan doa
leluhurnya, sang raja yang paling berkuasa dan perkasa pada zaman Bangsa
Israel dan sepanjang sejarah bangsa itu -- Raja Daud -- yang juga
menyampaikan permohonan kepada Tuhan sebagai berikut:
"Dengarkanlah
doaku, ya Tuhan, dan berilah telinga kepada teriakku minta tolong,
janganlah berdiam diri melihat air mataku! Sebab aku menumpang pada-Mu,
aku pendatang seperti semua nenek moyangku." (Mazmur 39:13) Daud merasa
dirinya sebagai 'penumpang' dan 'pendatang' yang tidak dipedulikan orang
yang ada di sekelilingnya. Hidupnya yang lebih banyak dihabiskan dalam
petualangan, kemiliteran yang membuat tangannya berlumuran darah --
sekalipun penuh dengan kuasa dan kemuliaan duniawi -- ia menyadari bahwa
segalanya itu bersifat sementara. Hanya kuasa Tuhan yang kekal
selama-lamanya. Tuhanlah sebagai pelindung, batu karang yang teguh bagi
nakhoda kapal tempat mercusuar memancarkan terang ke segala penjuru. Ia
perlindungan dalam pengembaraan di padang tandus dan bukit-bukit batu
yang curam. Tangisan Pemazmur adalah doa yang muncul dari derita hidup
yang paling dalam, dari lubuk jiwa. Dan, doanya dikabulkan.
Kejujuran di Rumah Doa
Ada
banyak ragam doa. Ada doa yang tulus ada pula doa yang tidak tulus.
Selain itu, masih ada doa pura-pura dan doa yang diwarnai kemunafikan.
Bagaimana Tuhan memandang doa atau permohonan ini? Sang raja dan penyair
PL menyebut doa seperti berikut, "Korban orang fasik adalah kekejian
bagi Tuhan, tetapi doa orang jujur dikenang-Nya" (Amsal 9:8).
Korban
persembahan di Bait Tuhan adalah wujud dari doa. Namun, korban atau
persembahan ini tidak akan diterima Tuhan kalau disampaikan sebagai
akibat dorongan kefasikan. Orang-orang fasik mengetahui kebenaran,
tetapi mencemooh kebenaran itu. Mereka tampaknya menunjukkan 'kesalehan'
dengan membawa persembahan sekadar formalitas, tetapi hati mereka
menjauh dari Tuhan. Motivasi mereka lain. Korban yang dibawa mereka itu
hanya sekadar syarat untuk menunjukkan kepada orang di sekitarnya bahwa
mereka memang benar menyembah Allah, sesuai dengan peraturan.
Tetapi
doa semacam ini justru menjadi kekejian bagi Tuhan. Doa dan korban itu
disampaikan untuk mengejar kesuksesan, keuntungan pribadi, atau karena
keangkuhan.
Hanya orang yang "mengejar kebenaran" sajalah yang
dikasihi-Nya. Artinya, doa mereka dikabulkan sesuai dengan kehendak-Nya,
dan demi kemuliaan-Nya.
Orang-orang "yang mengejar kebenaran"
boleh menghadap Tuhan karena: "Mereka akan Kubawa ke gunung-Ku yang
kudus dan akan Kuberi kesukaan di rumah doa-Ku" (Yesaya 56:7a). Mereka
yang memohon dengan tulus, yang datang kepada Tuhan dalam kebenaran yang
sejati, akan dibawa ke "Gunung Tuhan yang kudus" dan akan memperoleh
kesukaan di rumah doa.
Pernyataan ini amat indah dan puitis.
Siapakah yang dapat menaklukkan Gunung Tuhan yang kudus? Mereka yang
diam di rumah doa akan terpelihara dari kebinasaan yang kekal. Ada
saatnya Tuhan berpaling dari umat-Nya. "Engkau menyelubungi diri-Mu
dengan awan, sehingga doa tak dapat menembus." (Ratapan 3:44) Apabila
kita mengandalkan kekuatan diri sendiri, segala doa yang kita layangkan
kepada Tuhan tidak akan sampai karena Tuhan tidak mau mendengar. Doa-doa
kita tidak akan dapat "menembus selubung awan yang menutupi hadirat
Tuhan".
Patung yang Disembah dan Tidak Menyelamatkan
Kisah-kisah
dari PL banyak mengungkapkan kebiasaan orang pada zaman itu, membuat
patung untuk disembah. Mengapa mereka membuat patung untuk disembah
padahal mereka tahu bahwa patung itu buatan tangan mereka sendiri?
Mereka tahu bahwa patung yang diukir mereka tidak akan mampu mengabulkan
permohonan mereka. Hal itu mereka tahu.
Lalu? Ya, sesungguhnya
mereka berlindung kepada diri mereka sendiri. Patung itu merupakan
manifestasi keangkuhan diri mereka sendiri. Dengan kekuatan mereka,
mereka menyembah diri sendiri. Demikianlah orang-orang zaman kini
membuat patung bagi diri mereka sendiri, dengan kepintaran, teknologi
canggih, mereka berlindung di dalamnya. Mereka merasa tidak memerlukan
Tuhan Allah karena mereka mampu dan menyembah hasil kemampuan mereka.
Di
hadapan Tuhan, mereka itu tidak ada artinya. "Tiada berpengetahuan
orang-orang yang mengarak patung dari kayu dan yang berdoa kepada allah
yang tidak dapat menyelamatkan." (Yesaya 45:20b) Allah yang diam di
surga, tidak tampak bagi umat manusia yang congkak. Pengalaman hidup
mereka menunjukkan kepada mereka bahwa hanya dengan kekuatan sendiri
saja mereka dapat hidup. Pelbagai ilmu pengetahuan telah 'membuktikan'
kepada mereka bahwa Tuhan itu tidak ada. Yang ada dan nyata hanya
manusia saja. Dengan akal dan pikiran mereka sendiri, mereka dapat
menyelamatkan diri. Seperti pada zaman Menara Babel, keturunan Nuh
hendak menandingi Tuhan dan ingin berlindung di balik teknologi tinggi
mereka, mereka merasa mampu mengalahkan Tuhan yang diam di surga.
Patung
ilmu pengetahuan modern tidak lebih dari patung kayu masa dahulu,
semuanya tidak akan "menyelamatkan mereka". Menara Babel membuat manusia
tercerai-berai. Mereka tidak dapat bersatu, dan pada akhirnya segala
usaha mereka sia-sia belaka.
Doa Seorang yang Tetap Teguh kepada Tuhan
Seorang
tokoh muda, ketika mereka ditawan dan dibawa ke Babilon, seorang dari
antara tawanan Israel, bernama Daniel, tumbuh secara dinamis dan teguh
di istana raja yang menawannya. Godaan kekuasaan dan kedudukan tidak
menggoyahkan imannya. Di tengah-tengah segala intrik pejabat istana, ia
dan tiga orang kawannya yang lain tampil berani berbeda. Mereka tidak
gentar. Justru karena keberanian dan keteguhan dalam iman itulah, mereka
tumbuh bagaikan raksasa yang tidak terkalahkan. Ada perangkap yang
dipasang oleh pejabat-pejabat tinggi Raja Babilon, tetapi Daniel tidak
gentar.
Ia tidak terpukau soal kedudukan. Baginya, kedudukan
tidaklah penting. Yang penting adalah pengabdian. Dalam saat-saat yang
kritis sekalipun, ia tetap teguh. Ketika tawaran kekuasaan diberikan
Belsyazar kepadanya, ia berkata, "Simpanlah janjimu itu. Berikanlah
kepada orang lain." Ia menampik kekuasaan yang selalu diperebutkan orang
yang ada di sekitarnya.
Perangkap terhadap iman menjadi ujian
bagi Daniel. "Dalam kamar atasnya ada tingkap-tingkap yang terbuka ke
arah Yerusalem; tiga kali sehari ia berlutut, berdoa serta memuji
Allahnya, seperti yang biasa dilakukannya." (Daniel 6:llb) Menurut
'kebiasaannya', adalah kata yang mengandung banyak makna. Daniel telah
membuat sebuah kebiasaan yang baik, yang menjadi tradisi dan disiplin
dalam dirinya selama di negeri orang. Ia harus tunduk kepada disiplin
rohani yang dianutnya. Ini bukan sekadar ritual. Ini bukan sebuah
kebiasaan yang tidak bermakna.
Justru ketika orang memasang
perangkap atas 'kebiasaan' itu, ia tidak peduli. Ia tetap pada prinsip
yang dianutnya. Kebiasaan yang dilakukannya adalah kebiasaan untuk
menyembah Tuhan tanpa pamrih. Tidak ada kuasa yang merintangi
hubungannya dengan Allahnya yang diam di surga. Disiplin yang hidup
tumbuh dalam imannya. Orang yang beriman haruslah memiliki prinsip dan
disiplin dalam beribadah. Musuh-musuhnya bersorak-sorai ketika mereka
melihat Daniel masuk ke dalam 'perangkap' yang mereka buat.
Daniel
yakin bahwa Tuhan yang disembahnya tidak dapat diancam dan diganggu
gugat manusia. Kalaupun Nebukadnezar 'lupa' kepada Daniel dan
terperangkap dalam tipu daya musuh Daniel, ia tidak bergantung pada
kekuasaan manusia. Daniel bergantung pada Tuhan. Dengan lututnya, ia
menumbangkan bukit kesukaran dengan mantap.
Seperti halnya Yunus,
ketika hendak lari dari hadapan Tuhan, dalam kesesakan yang luar biasa
ia berdoa kepada Tuhan, dan Tuhan mendengar doanya. Tuhan tidak pernah
menaruh dendam kepada manusia. Ia penuh belas kasihan.
"Berdoalah Yunus kepada Tuhan, Allahnya, dari dalam perut ikan itu." (Yunus 2:1)
Demikianlah sebagian kecil narasi doa yang dijawab oleh Tuhan. (DP)
Diambil dan disunting dari:
Judul buku: Sahabat Gembala, Edisi Mei 2005
Penulis: Tidak dicantumkan
Penerbit: Yayasan Kalam Hidup, Bandung 2005
Halaman: 12 -- 17
Tidak ada komentar:
Posting Komentar