Tampilkan postingan dengan label pengajaran. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label pengajaran. Tampilkan semua postingan

Jumat, 15 Februari 2013

PENGHALANG BERUPA TIDAK MENGAMPUNI

ARTIKEL DOA: PENGHALANG BERUPA TIDAK MENGAMPUNI (1)

Banyak orang Kristen memunyai penghalang di dalam kehidupannya. Penghalang ini menghambat kemajuan rohani kita -- sesuatu yang mengikat; yang membuat frustrasi; menyebabkan tertunduk; menghalangi sukacita, damai sejahtera, kepuasan, dan penggenapan atas apa yang seharusnya kita miliki. Jika ada penghalang yang timbul antara Allah dan manusia, itu terjadi dari pihak manusia, bukan dari pihak Allah karena pada saat kematian dan kebangkitan Yesus, semua penghalang runtuh di sisi Allah. Salah satu penghalang terbesar untuk memperoleh damai sejahtera yang penuh dan perhentian yang sempurna adalah tidak mau mengampuni. Mari memerhatikan apa yang Yesus ajarkan dalam Matius 18:15-35.

Matius 18:18-19 memiliki apa yang saya sebut "pusat kuasa" dari gereja -- tempat dari semua kuasa dan kewenangan. Ini adalah sel dari gereja: 2 atau 3 orang percaya dipimpin bersama-sama oleh Roh ke dalam nama Tuhan Yesus. Dalam kehidupan jasmani, jika kehidupan sel tercerai berai, maka kehidupan menjadi tidak sehat. Hal ini juga berlaku bagi tubuh Kristus, yaitu gereja. Jika kehidupan sel setempat rusak, maka keseluruhan tubuh tidak akan sehat. Di dalam sel inilah terletak benih-benih atau sumber-sumber dari semua kehidupan gereja dan sumber dari semua kuasa.

Akan tetapi, janji dari kuasa ini dikelilingi dan dijaga dengan sebuah pagar. Anda tidak dapat memasukinya kecuali Anda memenuhi syarat-syaratnya. Saya sebut pagar ini "hubungan yang benar". Dalam Matius 18:15-17, Yesus berbicara tentang apa yang harus dilakukan kalau saudara Anda berbuat kesalahan pada Anda. Selanjutnya, ayat 19 berkata, "... jika dua orang dari padamu sepakat ...." Kata "gerika" yang dipergunakan di sini sama dengan kata "simfoni". Jadi, tidak sekadar kesepakatan secara intelektual, tetapi kesepakatan, kesehatian, keselarasan. Itulah ketika dua orang mulai berada dalam kesatuan roh. Secara alami, kalau Anda mau membuat simfoni, ada dua hal yang harus Anda punyai. Anda harus punya aransemen dan konduktor. Dalam alam rohani, jika Anda mau memunyai simfoni, Anda juga harus memunyai dua hal yang sama. Aransemennya adalah kehendak Allah; konduktornya adalah Roh Kudus.

Kesehatian atau kesepakatan tidaklah sekadar berkata, "Kita setuju." Kesehatian adalah berada dalam harmoni secara Roh dengan orang lain. Jika kita sudah sampai pada tempat dari harmoni rohani yang sebenarnya, kita tidak akan dapat dihalangi oleh apa pun. Karena hal ini, setan akan berusaha sedapat-dapatnya untuk mencegah orang-orang Kristen sampai ke tempat ini, dan dia sudah sangat berhasil dengan sebagian besar orang yang menyebut diri mereka Kristen.

Dalam Perjanjian Lama, Allah sudah menghadapi masalah yang cukup besar dengan umat Israel. Ia sudah menyatakan diri-Nya sebagai Allah yang tidak dapat ditampilkan secara memadai, baik melalui gambaran, lukisan, atau wujud apa pun. Usaha-usaha untuk membuat tiruan Allah secara tegas dilarang. Akan tetapi, berulang kali kita mendapati bahwa Israel jatuh ke dalam kesalahan dengan membuat patung atau berhala dan berkata, "Ini mewakili Allah." Kesalahan yang sama dilakukan juga oleh orang-orang Kristen pada masa sekarang. Tubuh Yesus Kristus tidak dapat ditampilkan secara kelembagaan. Akan tetapi, seiring dengan perjalanan waktu, orang-orang Kristen berkali-kali mencoba membuat sesuatu yang bisa dilihat dan diraba dari hal-hal yang rohani. Mereka mencoba untuk menghasilkan organisasi, lembaga, sesuatu yang dimaksudkan untuk mengikat bersama-sama, yang menggantikan kesatuan dan hubungan yang seharusnya dari tubuh Yesus Kristus.

Sebagai contoh, Bala Keselamatan (ini bukan merupakan kritikan terhadap Bala Keselamatan). Di dalam Bala Keselamatan ada kesatuan organisasi yang kuat, yang sama dengan organisasi ketentaraan. Selanjutnya, ada ikatan kebersamaan melalui seragam sehingga kalau Anda melihat mereka, segera saja Anda akan mengenali dan berkata, "Dia dari Bala Keselamatan." Semua yang dapat dilakukan untuk menghasilkan kesatuan dan struktur organisasi dapat dijumpai di sana. Namun demikian, 2 orang dari Bala Keselamatan bisa saja berada dalam perselisihan yang tidak dapat dihindarkan lagi -- jauh dari kesatuan dan harmoni, bahkan bisa jadi mereka saling berlawanan. Dua orang bisa saja berada dalam Bala Keselamatan, dan yang satu bisa saja sudah bertobat dan dilahirkan kembali, sedangkan yang lain belum dilahirkan kembali. Mereka bahkan tidak berada dalam tingkatan rohani yang sama. Akibatnya, dewasa ini ada banyak orang Kristen dalam tubuh Kristus berada dalam hubungan yang keliru dengan orang lain, dan mereka bahkan tidak menyadari kalau ada hal yang keliru.

Suatu malam, dalam sebuah kebaktian, 5 orang maju ke depan untuk meminta dukungan doa. Saya digerakkan untuk bertanya kepada setiap orang secara pribadi, "Apakah ada sikap tidak mau mengampuni, kemarahan, atau kemauan untuk balas dendam di dalam hati Anda?" Dari 5 orang yang maju, 3 orang berkata, "Ya, memang ada." Saya menjawab, "Apakah Anda benar-benar mau agar saya mendoakan Anda? Saya dapat saja langsung mendoakan Anda, tetapi apa yang harus dilakukan agar doa itu ada pengaruhnya? Dan, tahukah Anda apa yang mereka katakan? "Lebih baik kami pergi dan membereskan dulu semuanya, kemudian kembali ke sini untuk didoakan."

Luar biasa! Namun, yang sebenarnya luar biasa adalah bahwa ada orang-orang yang tidak menyadari adanya hubungan yang salah. Mengapa mereka bisa dikelabui? Mereka sudah mengizinkan sejumlah hal lahiriah sebagai pengganti yang membutakan mereka terhadap kenyataan batiniah.

Jika kesatuan lahiriah tidak ada hubungannya dengan hubungan rohani batiniah di dalam tubuh Kristus, lalu apa yang dapat menjaga tubuh Kristus secara kebersamaan? Apa yang merupakan sifat dan sumber yang benar dari kesatuan kita? Kita mendapatkan jawaban atas pertanyaan yang sangat penting ini di dalam dua pasal dari Efesus dan Kolose. Di dalam Efesus 4:16, Paulus berbicara tentang "Dari pada-Nyalah seluruh tubuh, -- yang rapi tersusun dan diikat menjadi satu oleh pelayanan semua bagiannya, sesuai dengan kadar pekerjaan tiap-tiap anggota -- menerima pertumbuhannya dan membangun dirinya dalam kasih." Jika Anda tidak mau mengampuni orang lain, Allah tidak akan mengampuni Anda.

Dalam Kolose 2:19, dalam konteks yang sama, Paulus berbicara tentang Kristus sebagai kepala "seluruh tubuh yang ditunjang dan diikat menjadi satu oleh urat-urat dan sendi-sendi; menerima pertumbuhan ilahinya." Ada dua hal yang Paulus katakan tentang mempersatukan atau menjadikan satu anggota-anggota tubuh: Ditunjang dan diikat. Apakah yang dimaksudkan dengan ditunjang dan diikat? Ditunjang adalah hubungan antara anggota-anggota tubuh. Diikat adalah sikap yang terjadi di antara anggota-anggota tersebut.

Secara alami, lengan kita memiliki tiga tulang. Meskipun masing-masing kuat dan sehat, berfungsinya tulang-tulang itu secara berhasil bergantung pada penunjang yang kita sebut siku. Masing-masing tulang dapat berada dalam keadaan yang sehat sempurna, namun demikian lengan tidak akan bisa bergerak jika penunjang tidak berfungsi sebagaimana seharusnya. Hal ini berlaku juga dengan tubuh Kristus. Hubungan Anda dengan yang lain merupakan penunjang yang membuat Anda sesuai di dalam Tubuh.

Sekali lagi, dalam Efesus 4:3 dan Kolose 3:14, Paulus berbicara mengenai Ikatan yang kuat, yang mempersatukan seluruh Tubuh. Ikatan yang sangat perlu, yang dapat menjaga Tubuh Kristus dalam kesatuan yang benar adalah kasih. Tetapi bila sikap ini tidak dijumpai, maka seluruh fungsi dari Tubuh akan lenyap. Jika kita berada dalam hubungan yang salah dengan sesama orang Kristen, tubuh tidak akan dapat berfungsi; kita juga tidak akan dapat menerima apa yang kita butuhkan untuk diri kita sendiri -- kita tidak hanya menutup berkat bagi orang lain, tetapi kita juga menutup berkat bagi diri sendiri.

Pada suatu kali, sesudah berkhotbah di sebuah gereja, saya pergi ke gereja yang lain dan menyampaikan khotbah yang sama. Akan tetapi, di gereja yang kedua ini, saya merasakan ada sesuatu yang tidak beres. Tahukah Anda, apa yang saya temukan? Di gereja yang memiliki anggota aktif sekitar 400 orang pada hari Minggu, ternyata terjadi perpecahan di antara mereka. Orang-orang yang berada di sebelah kanan saya tidak berbicara dengan orang-orang yang berada di sebelah kiri saya selama 5 tahun. Ketika mereka saling bertemu di jalan, mereka mengambil jalan simpang untuk menghindar. Sebagai akibatnya, bagi saya, berkhotbah kepada orang-orang seperti itu adalah membuang-buang waktu saja karena tidak memungkinkan bagi Roh Kudus untuk bekerja di dalam gereja yang sedemikian.

Dalam Matius 18:23-35, kita mendapatkan perumpamaan tentang seorang hamba yang tidak mau mengampuni. Ayat terakhir dari pasal ini menunjukkan kepada kita bahwa Yesus berbicara mengenai orang-orang yang menyebut dirinya Kristen. Hamba yang pertama di dalam perumpamaan ini berutang 10.000 talenta. Karena tidak mampu membayar, dia nyaris dimasukkan ke dalam penjara. Ia memohonkan belas kasihan kepada tuannya. Tuannya mengampuni dia dengan menghapuskan semua utangnya. Akan tetapi, sementara berjalan keluar, ia bertemu dengan sesama pelayan yang berutang kepadanya 100 dinar. Ketika temannya ini meminta belas kasihan kepadanya, ia enggan melakukannya.

Ketika tuannya mengetahui perbuatan hambanya yang telah ia ampuni itu, tuannya sangat marah. Sesudah memanggilnya dan menanyakan apa yang terjadi, tuannya berkata, "Kamu hamba yang jahat." Kemudian, tuan itu memerintahkan, "Serahkan dia kepada algojo, sampai dia melunasi utang-utangnya." Dan, ayat yang terakhir berkata, "Demikian juga akan dilakukan oleh Bapa-Ku yang di Sorga kepadamu, jika kamu tidak mengampuni dengan segenap hati saudara-saudaramu yang berbuat kesalahan kepadamu."

Diambil dan disunting seperlunya dari:
Judul majalah: Hidup dalam Kristus Vol.18, No.2
Penulis: Derek Prince
Penerbit: Yayasan Pusat Hidup Baru
Halaman: 6 -- 10

Rabu, 11 April 2012

PEPERANGAN ROHANI



0BULETIN DOA -- Peperangan Rohani
Edisi April 2012, Vol.04 No.52

DAFTAR ISI
ARTIKEL DOA 1: SENJATA KITA DALAM PEPERANGAN
ARTIKEL DOA 2: PERANG ROHANI
STOP PRESS: GLOBAL DAY OF PRAYER AND FASTING FOR NORTH KOREA

Shalom,

Ketika kita berdoa syafaat, sebenarnya kita sedang memasuki sebuah peperangan yang sengit dengan kuasa-kuasa di udara. Karena itu, seharusnya kita bersiap sedia dengan segala baju zirah yang sudah dipersiapkan oleh Allah untuk kita pakai. Dalam edisi e-Doa kali ini, kami mengajak Anda menyimak artikel mengenai senjata yang kita pakai dan apa yang kita lakukan dalam peperangan rohani. Kiranya, artikel-artikel yang kami sajikan ini memperlengkapi Anda. Tuhan Yesus memberkati!

Redaksi Tamu e-Doa,
Yosua Setyo Yudo
< http://doa.sabda.org >


ARTIKEL DOA 1: SENJATA KITA DALAM PEPERANGAN

Orang beriman harus senantiasa diperlengkapi dengan sejumlah jenis senjata. Efesus 6:10-11 berkata, "Akhirnya, hendaklah kamu kuat di dalam Tuhan, di dalam kekuatan kuasa-Nya. Kenakanlah seluruh perlengkapan senjata Allah, supaya kamu dapat bertahan melawan tipu muslihat Iblis." Orang semacam ini adalah orang yang siap menghadapi musuh. Iblis akan melakukan segala upaya untuk mencegah, jangan sampai Anda memiliki ilmu pengetahuan dari Allah. Sekalipun Anda berhasil memiliki senjata itu, ia akan berusaha merebutnya. Anda akan mengalami ujian dalam hal ini, dan ada beberapa orang yang tidak lulus dalam ujian tersebut. Iblis akan menyatakan bahwa Anda tidak memerlukan senjata itu. Sebaiknya senjata itu dibuang saja, sebab senjata itu tidak bermanfaat bagi Anda.

Pada suatu saat, saya didatangi seorang laki-laki di dalam suatu kebaktian, tatkala saya sedang menyinggung masalah ini di dalam khotbah saya. Ia mengatakan bahwa senjata itu tidak mempan baginya. Saya katakan kepadanya apabila senjata Allah itu tidak mempan, maka ia dapat menyebut Tuhan itu pembohong. Kalau firman Allah itu sebagai senjata tidak mempan dalam hidup Anda, maka hal itu disebabkan oleh karena Anda menggunakannya secara tidak benar.

Allah tidak pernah gagal dalam melaksanakan kebenaran. Memang musuh dengan gigih menolak Anda masuk ke dalam kawasan yang pernah ia kuasai karena ia senang menjalankan kekuasaan gelap yang penuh dengan roh jahat di udara. Ia ingin terus melanjutkan kekuasaannya atas diri umat manusia. Ia sangat menyesalkan adanya campur tangan Tuhan dalam hal ini. Ia akan memusatkan segala kekuatan dan tenaganya untuk merintangi Anda melalui suatu peperangan yang dahsyat. Kalau serangan-serangannya berhasil Anda patahkan dan ia tidak berhasil menguasai jalan pikiran Anda, maka ia akan mencoba mengusik Anda melalui jiwa Anda, keadaan tubuh Anda, keadaan keluarga Anda, atau kondisi kehidupan Anda. Oleh sebab itu, hendaklah Anda siap sedia senantiasa menghadapi segala gangguan iblis itu, karena ia pasti tidak akan tinggal diam. Gangguan itu akan terus datang merongrong.

Tempat yang tadinya merupakan anugerah yang istimewa bagi Anda, kini menjadi tempat yang luar biasa berbahaya. Tidak ada kebenaran yang lebih tangguh dalam melawan musuh, kecuali kewibawaan iman pada orang yang percaya. Roh Tuhan berdoa melalui rasul Paulus, kiranya mata sidang jemaat boleh terbuka lebar, agar mereka bisa menyadari sepenuhnya perlengkapan senjata yang ampuh, yang telah diperuntukkan untuk menjaga keamanan diri mereka. Saya pernah menyaksikan sejumlah orang yang berhasil dijungkirbalikkan oleh iblis. Banyak pula orang yang berusaha dengan tekun untuk menguasai kebenaran Allah, atau telah memperoleh pelajaran tentang kebenaran Allah itu. Mereka telah berusaha dengan sekuat tenaga, untuk dapat melaksanakan dengan baik apa yang diajarkan oleh firman Allah. Sering kali, mereka berhasil ditaklukkan iblis dari segi kelemahan jasmaniah mereka, sebab mereka tidak bisa lagi ditaklukkan melalui kekuatan benteng iman rohani mereka. Iblis senantiasa berusaha mengalahkan mereka melalui segala cara, apa saja yang ia sanggupi. Namun, kepada setiap orang, telah disediakan perlengkapan senjata, yang bisa menjamin keamanan diri mereka itu. Apabila manusia itu berhasil memanfaatkan senjata dari Allah itu dengan tepat, maka ia pasti berhasil mengalahkan iblis.

Seorang yang beriman haruslah senantiasa diperlengkapi dengan senjata. Efesus 6:10-17 berkata, "Akhirnya, hendaklah kamu kuat di dalam Tuhan, di dalam kekuatan kuasa-Nya. Kenakanlah seluruh perlengkapan senjata Allah, supaya kamu dapat bertahan melawan tipu muslihat Iblis. Karena perjuangan kita bukanlah melawan darah dan daging, tetapi melawan pemerintah-pemerintah, melawan penguasa-penguasa, melawan penghulu-penghulu dunia yang gelap itu, melawan roh-roh jahat di udara. Sebab itu ambillah seluruh perlengkapan senjata Allah, supaya kamu dapat mengadakan perlawanan pada hari yang jahat itu dan tetap berdiri sesudah kamu menyelesaikan segala sesuatu. Jadi berdirilah tegap, berikat pinggangkan kebenaran dan berbaju zirahkan keadilan, kakimu berkasutkan kerelaan untuk memberitakan Injil damai sejahtera, dalam segala keadaan pergunakanlah perisai iman, sebab dengan perisai itu kamu akan dapat memadamkan semua panah api dari si jahat, dan terimalah ketopong keselamatan dan pedang Roh, yaitu firman Allah." Berbagai macam bagian senjata yang disebutkan di sini, melambangkan sikap kehidupan rohani tertentu, yang harus dipertahankan oleh orang beriman. Dengan mengenakan senjata rohani ini, maka seorang yang beriman akan terlindung dari bahaya musuh, dan tidak terhalang dalam melaksanakan tugas pelayanannya. Yang ia perlukan hanyalah bagaimana caranya ia terus-menerus bisa bertahan, agar senjatanya itu tetap cemerlang dan dapat dimanfaatkan bagi kepentingannya dengan mantap.

Ikat pinggang kebenaran merupakan lambang dari pemahaman yang mendalam terhadap isi firman Allah. Seperti halnya fungsi ikat pinggang bagi seorang tentara sebagai tempat kaitan segala macam senjata lain baginya, agar tetap bisa bertahan pada tempatnya masing-masing, maka ikat pinggang kebenaran berfungsi demikian juga.

Tameng dada yang terbuat dari logam merupakan lambang keadilan. Hal ini memunyai dua macam penerapan. Pertama, Yesus adalah lambang dari segala keadilan. Itulah sebabnya, kita tempatkan Dia sebagai pelindung keadilan yang utama. Kedua, lukisan dari sikap ketaatan kita terhadap firman Tuhan, bahwa kaki kita harus beralaskan sepatu yang siap sedia untuk menyebarkan Kabar Baik bagi umat manusia. Hal ini merupakan tugas kepeloporan dalam menyampaikan firman Tuhan kepada manusia, yang patut dilaksanakan dengan setia.

Tameng kepercayaan. Tameng itu merupakan senjata pelindung bagi seluruh tubuh kita. Hal ini merupakan lambang tentang keamanan diri kita selengkapnya, dan merupakan tempat pengungsian yang aman di bawah darah yang telah ditumpahkan di atas bukit Kalvari, di mana tidak ada satu kekuatan musuh apa pun juga yang bisa berhasil menembusnya.

Ketopong keselamatan, seperti yang disinggung dalam 1 Tesalonika 5:8, yang merupakan harapan terhadap keselamatan itu. Harapan akan keselamatan itu merupakan satu-satunya topi pengaman yang mampu melindungi bagian kepala kita dalam masa-masa penuh kepicikan, sehingga janganlah kepala kita jadi bingung atau pecah, sehingga kita berpaling dari sesuatu yang mengandung kebenaran.

Pedang Roh, yang tiada lain adalah firman Tuhan itu sendiri. Bagi kita, hal ini harus kita tafsirkan bahwa firman Allah itu, hendaklah kita gunakan secara aktif sebagai senjata. Senjata-senjata yang lainnya itu tergolong jenis senjata yang dapat kita pakai dalam corak membela diri atau mempertahankan diri semata-mata.

Selanjutnya Efesus 6:18 menyatakan, "Dalam segala doa dan permohonan. Berdoalah setiap waktu di dalam Roh dan berjaga-jagalah di dalam doamu itu dengan permohonan yang tak putus-putusnya untuk segala orang kudus." Nah, kini kita telah siap siaga untuk melakukan peperangan melawan musuh, karena kita sudah diperlengkapi sepenuhnya dengan senjata yang ampuh. Oleh sebab itu, apabila kita berdoa di dalam Roh, maka kita pun dapat melaksanakan tugas perjuangan kita dengan gilang-gemilang.

Diambil dan disunting seperlunya dari:
Judul asli buku: Authority of the Believer
Judul buku: Kewibawaan Orang Beriman
Penulis: Kenneth E. Hagin
Penerjemah: Wimanjaya K. Liotohe
Penerbit: Yayasan Pekabaran Injil "IMMANUEL", Jakarta 1981
Halaman: 36 -- 38


ARTIKEL DOA 2: PERANG ROHANI

Keberadaan Iblis dan Roh-Roh Jahat

Beda dari yang dikesankan oleh film-film hantu Hong Kong yang jenaka, film-film misterius X-files yang mencampuradukkan data, fiksi, kebenaran, dan kesesatan, atau film-film hantu serial beberapa televisi Indonesia yang banyak mengundang asosiasi binal pemirsa; Alkitab menelanjangi taktik-taktik mematikan dan strategi-strategi busuk iblis dan roh-roh jahat. Alkitab menegaskan bahwa iblis adalah kepala dari para malaikat Tuhan yang jatuh. Iblis "diabolos" berarti musuh, sebab ia memang memusuhi Allah (1 Tawarikh 21:1; Ayub 1-2; Zakharia 3:1-2) dan menyerang umat Allah (Wahyu 12:9-10). Ia menjadi ilah dunia ini dengan memimpin orang-orang yang bergaya hidup duniawi, yaitu tidak tunduk terhadap kehendak Allah (Yohanes 12:31; 2 Korintus 4:4; Efesus 2:2; 1 Yohanes 5:9).

Iblis bersama dengan semua makhluk rohani lain yang jatuh, yaitu para roh jahat dan manusia yang tidak mau taat terhadap Injil Yesus Kristus, adalah calon penghuni neraka. Mereka telah berkeras hati untuk menentang kebaikan, kebenaran, kehendak, dan kerajaan Kristus. Sementara masa penantian ini, mereka benar-benar memiliki kuasa untuk melakukan berbagai kejahatan yang intinya ditujukan kepada Allah, tetapi sasarannya sering kali ditembakkan kepada orang beriman. Calvin menggambarkan mereka bergentayangan ke sana ke mari mencari mangsa, namun sambil menyeret-nyeret rantai pengikat, sebab mereka telah ditaklukkan Kristus dan tidak mungkin mereka dapat mengalahkan Allah.

Strategi dan Kegiatan Roh-Roh Jahat

Dalam Perjanjian Lama, Iblis mencobai Hawa dan Adam karena manusia pertama itu memberi perhatian bagi tipu dayanya. Iblis dan roh-roh jahat mendapatkan peluang besar untuk merusak peradaban manusia. Kuasa kejahatan membelenggu hati dan tindakan manusia. Namun demikian, baru di Perjanjian Baru, ketika penyataan Allah hadir nyata dalam diri Yesus Kristus, perbuatan-perbuatan jahat iblis ditelanjangi. Selain mencobai Tuhan Yesus, di balik berbagai penyakit dan kemalangan tertentu ada kegiatan roh-roh jahat (Markus 5:1-15; 9:17-18; Lukas 1:14). Iblis ditelanjangi tipu dayanya dengan disebut sebagai malaikat terang (2 Korintus 11:14), singa yang mengaum-ngaum (1 Petrus 5:8), naga atau ular tua (Wahyu 12:9), pembunuh dan bapak pendusta (Yohanes 8:44). Dia berusaha mempertahankan manusia dalam dosa, menggelapkan pikiran mereka hingga tidak dapat menerima kebenaran Injil Kristus (2 Korintus 4:4), membuat para cerdik cendekia duniawi menganggap hikmat Allah sebagai suatu kebodohan (1 Korintus 1:18-25), dan menawan pikiran mereka dalam benteng kejahatannya (2 Korintus 10:5).

Kemenangan Kristus

Iblis dan roh-roh jahat hanyalah makhluk ciptaan Allah. Mereka berkuasa, tetapi tidak mahakuasa. Mereka lebih tinggi dan hebat dari manusia. Karena itu, kita tidak boleh bermain-main dengannya atau memberi peluang apa pun kepadanya. Namun, mereka tetap makhluk yang tunduk, tergantung eksistensi, dan ruang geraknya pada keputusan Allah yang berdaulat. Ketika mengutus para murid-Nya, Kristus memberi mereka kuasa untuk mengusir roh-roh jahat (Lukas 9:10; 10:17). Iblis dan roh-roh jahat takut dan tunduk kepada Yesus (Markus 1:25; 3:11-12; 9:25). Meski sudah dihancurkan Kristus di dalam peperangan dahsyat di salib, iblis dan roh-roh jahat masih diberi sisa kekuatan dan kesempatan. Namun, dengan mengandalkan kuasa dan wibawa serta perlengkapan perang rohani yang Kristus berikan, kita dapat mengalahkannya (Markus 16:15-18; Efesus 6:10-18). Itu sebabnya dalam kondisi dan keadaan bagaimanapun, iblis dan roh-roh jahat harus dipandang dan diperlakukan sebagai musuh yang sudah dikalahkan (Kolose 2:15).

Mana yang dari Iblis, Mana yang Kelemahan Kita?

Perlu kita sadari bahwa tidak semua masalah adalah ulah iblis dan antek-anteknya. Bisa juga (dan sangat besar kemungkinannya) masalah itu adalah akibat kelemahan kita sendiri. Masalahnya, kita sulit membedakan mana konflik dan masalah yang bersumber pada diri manusia sendiri, mana yang berasal dari kuasa kegelapan.

Bernard menyebut itu sebagai masalah "inter morsum serpentis et mortum mentis" (antara sengat iblis dan pikiran yang sakit terkena sengat). Bedanya, pertama, masalah yang datang dari hati kita sendiri tumbuh perlahan dan berangsur, sedangkan yang datang dari roh jahat adalah serangan dan bersifat mendadak. Kedua, ide atau kesalahan dari kita tidak begitu mengerikan seperti yang datang dari iblis dan roh jahat. Bukankah kita tidak takut melihat anak kita sendiri? Tetapi, ide yang datang dari iblis sangat menakutkan, misalnya, ide untuk menghujat dan dorongan untuk bunuh diri. Ketiga, hal yang berasal dari iblis dan dilemparkan ke dalam pikiran kita akan kita tanggapi dengan keengganan penolakan, pengelakan. Tak seorang pun dengan senang hati menyambut roh jahat bila ia menyerang, baik berupa ide maupun penampakan diri. Lebih dari semuanya, Roh Kudus akan memberi kita kemampuan membedakan roh, dengan mengajar hati kita berbagai prinsip kebenaran firman tentang hal-hal tersebut.

Perang Rohani Kita

Jadi, ada tiga kemungkinan dari apa yang kita sebut "perang rohani". Pertama, perang rohani dalam arti melawan kelemahan dosa diri sendiri. Kedua, perang rohani dalam arti melawan godaan keduniawian. Ketiga, perang rohani karena diserang roh-roh jahat. Dua yang pertama tidak perlu diartikan sebagai perang melawan kuasa-kuasa roh jahat. Di dalam Kristus, yaitu bila dalam pertolongan Roh Kudus kita bersatu dengan Kristus dalam kematian dan kebangkitan-Nya, kita dapat mengatasi sifat dosa kita dan godaan dunia ini. Tetapi, bila kita tidak bersekutu dengan-Nya, bisa jadi kelemahan dan kegagalan kita dimanfaatkan iblis dan roh-roh jahat untuk kepentingan kejahatan mereka. Hanya konflik ketigalah yang patut kita golongkan sebagai perang melawan kuasa-kuasa jahat di angkasa. Bila itu terjadi, Tuhan tidak meninggalkan kita sebagai piatu. Pastikan bahwa tidak ada peluang di pihak kita yang menjadi sebab roh-roh jahat itu beroleh kesempatan menyerang kita. Arahkan usaha iman dan harap kita ke kuasa dan janji Tuhan Yesus. Dalam pertumbuhan, hidup sehari-hari, dan pelayanan, pasti tiga jenis perang rohani itu akan kita hadapi. Ingatlah: aku yang lama telah mati bersama Kristus. Dunia kehilangan daya tariknya bila keindahan Kristus terpampang jelas dalam hati sanubari kita. Roh-roh jahat sudah dilucuti kuasanya oleh Tuhan Yesus di salib-Nya. Itulah rahasia kemenangan Kristen.

Diambil dari:
Judul buku: Menerbangi Terowongan Cahaya
Penulis: Paul Hidayat
Penerbit: Yayasan Persekutuan Pembaca Alkitab, Jakarta 2002
Halaman: 74 -- 77


STOP PRESS: GLOBAL DAY OF PRAYER AND FASTING FOR NORTH KOREA

Open Doors International akan mengadakan gerakan doa "Global Day of Prayer and Fasting for North Korea" pada tanggal 15 April 2012. Open Doors Indonesia mengajak Anda -- umat Kristen diseluruh Indonesia, untuk ikut terlibat berdoa bagi Korea Utara. Untuk mendapatkan pokok-pokok doa dan informasi tentang umat Kristen Korea Utara, silakan kunjungi website Open Doors Indonesia di . Selain itu, kami juga menyediakan pokok-pokok doa dan video kesaksian dalam bentuk CD. Bagi Anda yang berminat mendapatkan CD ini, Anda dapat menghubungi Open Doors Indonesia melalui email di (cantumkan data diri dan alamat lengkap Anda).

Kami juga mengajak Anda bergabung dalam komunitas Facebook Open Doors Indonesia di dan Twitter di <@ODIndonesia>. Khusus tanggal 15 April 2012, Anda bisa memposting doa-doa Anda di Facebook kami –- kutiplah ayat-ayat dari kitab Mazmur sesuai dengan permintaan tubuh Kristus di Korea Utara.


Kontak: < doa(at)sabda.org >
Redaksi: Novita Yuniarti
(c) 2012 -- Yayasan Lembaga SABDA
< http://www.ylsa.org >
Rekening: BCA Pasar Legi Solo;
No. 0790266579
a.n. Yulia Oeniyati
< http://blog.sabda.org/ >
< http://fb.sabda.org/doa >
Berlangganan: < subscribe-i-kan-buah-doa(at)hub.xc.org >

Selasa, 20 Maret 2012

Christians win legal challenge brought by Muslims for village in Indonesia




By Dan Wooding
Founder of ASSIST Ministries

HORALE, MALUKU PROVINCE, INDONESIA (ANS) -- Indonesian Christians have won a lengthy legal battle over the ownership of their village against neighboring Muslims who had virtually razed it to the ground in 2008.

Arial view of the destruction
According to Barnabas Fund (www.barnabasfund.org) Horale in Maluku province, Indonesia, was destroyed in an attack by a Muslim mob from the neighboring village of Saleman on May 2, 2008.

They were said to have burnt down 120 houses, three churches and the village school, and destroyed 15 hectares of crops. Four Christians were killed and 56 injured in the onslaught.

"One week after the incident, Muslims from Saleman brought a legal challenge over the ownership of Horale, claiming that the land was part of their territory," said a Barnabas Fund spokesperson. "The case was first heard at county level, where a Muslim is the head of the government. Despite evidence in support of the Horale Christians, the court ruled in favor of the Saleman villagers.

Villagers helped to rebuild their homes
"The Christians appealed to the provincial court, which overturned the verdict, prompting the Muslims to take the matter to the Supreme Court. It has now ruled that the ten square miles in question rightfully belong to the Christian residents.

"Had they lost the case, they would have had to leave the village with nowhere else to go."

Barnabas Fund helped the Horale Christians, who are low-earning farmers, with their legal costs.

The spokesperson added, "We have also helped finance the reconstruction of the village, which is now home to around 150 families (900 individuals). Funds were used to turn 106 semi-permanent houses provided by the government in the aftermath of the attack into permanent homes, and to build 14 new properties for those who had none.

Barnabas Fund helped finance
the reconstruction of Horale
"We assisted in rebuilding the three damaged churches and also provided other resources for the villagers, including rice and electricity.
The attack in May 2008 forced the Christian villagers to flee to the jungle. Now that their properties have been rebuilt and their right to Horale has been established, they hope to be left to resume their lives in peace."

Senin, 13 September 2010

Divine Providence


Divine Providence
Alice Smith

This weekend we've all remembered 9/11. I'm sure you know where you were the day our nation changed. I can. Each of us have pivotal experiences that change our perspective on life. Such was the case for me on one occasion.

As I boarded the airplane that evening I was really weary. The weekend of ministry had been extra hard for some reason, and I felt a head cold coming on. I dropped into the seat for the ride home and dozed off almost immediately. Somewhere in my subconscious, I was still aware of the takeoff and the plane's smooth sailing through the sky. The flight attendants had already served everyone and dimmed the overhead lights.

I must have been asleep for most of the trip, when the jolt of the plane awoke me. The turbulence was some of the worst I'd ever experienced. My window seat allowed me to look outside, but there was no visibility, only thick, dark clouds. It was quite unsettling as the plane lurched up and down and from side to side. I strained to see the ground but to no avail.

It seemed like an eternity before the captain came on the intercom. His deep, soothing voice was comforting. “This is your captain speaking. Folks, there is no reason to worry; the haze is thick and the turbulence is rather bad, but ground control has us on their radar and they will help us make a safe landing. We will be landing soon.”

Although the plane continued to rock, and it wasn’t a comfortable experience, the control room below could see the big picture. They could land the plane safely. At that moment the Lord reminded me that even though at times the circumstances of our lives become tumultuous and hinder our visibility, the heavenly Father always sees the big picture. Not to worry, He has us on His radar. We often strain to see in the natural something that God is doing only in the spiritual.

Experiences like this have taught me several things. The relationship we maintain with the Father and the atmosphere produced by that relationship are very important. Religious rules and regulations won’t carry us when the going gets rough. We need an intimate and close fellowship with God. Our relationship is found in a deep abiding faith as we rest in the arms of a good and faithful Father.

Secondly, if we expect to be prepared to face life’s trials we must maintain a meaningful relationship with the Father. When the bottom drops out and we are rocked by trauma, there isn’t time to build a trusting relationship with God. At those times we need to rest in the relationship we’ve already developed with Him.

Life can be exceedingly challenging at times. Yet prayer should be our first response to a challenge. In our desperate cry for help with life’s twists and turns, the Lord is drawing us to listen to His voice. This isn’t a step into the dark; it is a step into the light of faith in Him.

This walk of faith insists that we silence our busy and fretful hearts, preparing us to hear God’s voice. Once we hear and obey Him, this is confirmation that the new nature of Christ is at work in us. Now we just need to step out and trust Him. To the degree that we learn the voice of our heavenly Father and desire to understand His ways, to that same degree we will also hear His voice and walk in His ways. Our personality, intelligence or talents have little to do with it.

The next time you find yourself in the haze of life’s turbulence, and there is no clear view, draw close to the heart of God. There you will find peace. He has you on His radar screen and you can trust Him to bring you safely home.

Sabtu, 19 Juni 2010

APA YANG DAPAT KITA HARAPKAN SAAT BERDOA ?


APA YANG DAPAT KITA HARAPKAN SAAT BERDOA ?

Doa merupakan nafas kehidupan orang percaya, tanpa doa orang percaya seperti seekor ikan yang hidup di luar habitatnya. Ia akan mudah putus asa dan dalam kondisi sekarat secara kerohanian. Doa dapat membuat engkau menjadi tenang dan memiliki damai sejahtera dalam hidupmu, sebab Firman Tuhan mengatakan hanya dekat Allah saja aku
tenang. Ini merupakan sebuah jaminan yang Ia janjikan pada setiap kita, hingga kita dapat beroleh ketenangan yang berasal dari hubungan pribadi kita (melalui doa) padaNya. Seperti anak saya, Philip, ia merasa aman ketika berada di dekat saya saat sedang jalan-jalan atau main sepeda di seputar kompleks rumah tempat kami tinggal. Ia percaya
bahwa "papa"nya tidak akan meninggalkan atau membiarkan sesuatu yang berbahaya terjadi atas hidupnya. Semua keyakinannya ia dapatkan dari hubungan yang terbangun selama ini, antara seorang ayah dan putranya. Apa yang dapat kita harapkan saat sedang berdoa? Adanya suara-suara yang memanggil nama anda atau penampakan-penampakan? Saudara-saudara, Tuhan kita adalah Bapa kita, bukan tuhan yang misterius, Ia ingin
menunjukkan diriNya secara pribadi dan tentunya tolok ukur kita adalah Alkitab.

1.Tuhan akan menyatakan diriNya pada kita.
Yeremia 29:13, "Apabila kamu mencari Aku, kamu akan menemukan Aku; apabila kamu menanyakan Aku dengan segenap hati."
Tuhan berjanji pada kita bahwa bila kita berdoa dengan segenap hati maka Ia akan menyatakan pribadiNya pada kita. Baik saat kita tengah membaca Alkitab dimana Ia dapat berbicara melaluinya dan menjawab kebutuhan kita, saat mendengarkan khotbah atau pengajaran Alkitab, membaca buku rohani, dll. Kita harus mengembangkan kesadaran rohani kita sebab Tuhan dapat berbicara melalui berbagai macam peristiwa
yang terjadi dalam hidup kita. Kuncinya carilah Tuhan dengan SEGENAP HATI, maka Ia akan menyatakan pribadiNya.

2.Tuhan akan menjawab doa.
Yeremia 29:12," Dan apabila kamu berseru dan datang untuk berdoa padaKU, maka Aku akan mendengarkan kamu."
Apabila kita berdoa dengan segenap hati kita maka Tuhan pasti akan menjawab doa dan pergumulan kita. Ia akan membuka jalan saat tidak ada jalan. Tuhan, adalah Bapa yang baik Ia tidak akan membiarkan kita, anak-anakNya menderita. Dalam tiap situasi Ia tengah bekerja untuk rencanaNya yang terbaik bagi hidup kita. IA pasti akan menjawab
doa.

3.Perubahan dalam hidup kita.
2 Korintus 3:18,"Dan kita semua mencerminkan kemuliaan Tuhan dengan muka yang tidak berselubung. Dan karena kemuliaan itu datangnya dari Tuhan yang adalah Roh, maka kita diubah menjadi serupa dengan gambarNya, dalam kemuliaan yang semakin besar."
Ketika kita berdoa maka kita akan memiliki keintiman dengan Tuhan terlebih bilamana ketika kita berdoa, kita juga merenungkan kebenaran Firman Tuhan. Maka pribadi kita akan mulai sedikit demi sedikit diubahkan oleh Tuhan dan pribadiNya mulai nampak dalam hidup kita. Pribadi Kristus menjadi nyata dalam hidup kita.

4.Perubahan dalam keadaan atau situasi
Yakobus 5:17-18," Elia adalah manusia biasa sama seperti kita, dan ia telah bersungguh-sungguh berdoa, supaya hujan jangan turun, dan hujanpun tidak turun di bumi selama tiga tahun dan enam bulan. Lalu ia berdoa pula dan langit menurunkan hujan dan bumipun mengeluarkan buahnya."
Tuhan mendengar doa siapapun, Elia di katakan bukanlah siapa-siapa dihadapan Allah, ia "hanya" manusia biasa seperti kita.Apapun kondisi yang kita alami Tuhan itu berdaulat untuk mengeluarkan kita dari tiap cengkeraman permasalahan dalam hidup kita. Tidak ada satu perkarapun yang terlalu sulit bagi Tuhan untuk Ia atasi dalam hidup kita. Sebab
tidak ada satupun perkara yang mustahil dihadapanNya. Ia lebih besar dari tiap permasalahan yang kita hadapi.

Jadi ada 4 hal yang dapat kita harapkan pada Tuhan saat kita berdoa bahwa Ia akan menyatakan diriNya, Ia akan menjawab doamu, perubahan dalam hidup pribadimu dan perubahan dalam keadaan atau situasi yang tengah menekanmu. Jadi tunggu apalagi, mari kita mulai BERDOA setiap saat,kita telah ditebus oleh Kristus agar kita dapat kembali "BERBICARA" dengan Bapa Sorgawi dan mengalami perjumpaan dengaan Nya setiap hari.

Kamis, 10 Juni 2010

Kehidupan Doa


BULETIN DOA - Edisi Juni 2010, Vol.02 No.16 -- Kehidupan Doa

______________________________e-Doa___________________________________
(Sekolah Doa Elektronik)
______________________________________________________________________
DAFTAR ISI

EDITORIAL
ARTIKEL DOA: Penglihatan dalam Kemuliaan: Doa
TOKOH DOA: Ezra: Tobat Nasional
STOP PRESS: KADOS (Kalender Doa SABDA)
______________________________________________________________________
EDITORIAL

Shalom,

Jika ada seseorang yang bertanya seberapa pentingkah doa bagi
kehidupan Anda, apa jawab Anda? Mungkin jawabannya adalah doa
merupakan bagian yang teramat penting bagi kehidupan kita. Bahkan,
doa sering diibaratkan sebagai nafas kehidupan. Namun, apakah kita
benar-benar menikmati "nafas" kehidupan ini? Kebanyakan orang tidak
dapat menikmatinya karena berbagai macam faktor. Salah satunya
karena mereka tidak tahu betapa pentingnya doa itu. Nah, untuk
mengetahui mengapa doa itu begitu penting, kami mengajak Anda untuk
menyimak artikel yang telah kami persiapkan.

Pimpinan Redaksi e-Doa,
Novita Yuniarti
< novita(at)in-christ.net >
http://doa.sabda.org
http://fb.sabda.org/doa
______________________________________________________________________
ARTIKEL DOA

PENGLIHATAN DALAM KEMULIAAN: DOA

Banyak dari kita yang mengharapkan terjadinya pertemuan pribadi
dengan Allah, tetapi kita ingin agar pertemuan itu terjadi sesuai
dengan kehendak kita. Kita menginginkan lawatan Allah, tetapi kita
menolak untuk naik ke tempat kediaman-Nya. Kita menginginkan tempat
kediaman-Nya, tetapi apakah kita menyadari apa yang terlebih dahulu
Ia minta dari kita? Sebelum setiap nabi dalam Perjanjian Lama
membawa pesan penghakiman kepada suatu bangsa yang dapat
mendatangkan perubahan, mereka menerima penglihatan dari Takhta
Allah dan tempat kemuliaan Allah. Hari ini, kita pun banyak yang
merindukan lawatan Allah, tetapi kita belum mengalami pertemuan
dengan Takhta Allah. Kita rindu agar Allah membawa "turun"
Takhta-Nya, tetapi kita tidak mau naik ke tempat Ia berada, untuk
melihat Pribadi-Nya yang sesungguhnya.

Kitab Wahyu adalah contoh yang baik dari hal ini. Ketika Yohanes,
berada di Pulau Patmos, gereja pada saat itu sedang mengalami
kemerosotan. Penginjilan menurun, gereja patah semangat, dan mereka
telah kehilangan fokus -- hampir sama dengan kondisi kita pada hari
ini. Yohanes menerima kunjungan ilahi untuk naik [ke surga] dan
melihat hal-hal yang akan terjadi. Kita melihat bahwa Yohanes sedang
berada dalam Roh dan berada pada Hari Tuhan. Yohanes telah
mengkhususkan suatu waktu bagi Tuhan; ia menghormati hari Sabat.
Ketika ia datang dengan kerendahan hati di hadapan-Nya, ia pun
mengalami kunjungan ilahi. Kunjungan ilahi yang sama tersedia bagi
kita hari ini. Ketika Yohanes mendekat dan memasuki Takhta Allah dan
memandang keindahan Allah, ia melihat lautan kaca, takhta suci, 24
tua-tua, dan ia melihat Anak Domba yang layak mengambil gulungan
Kitab serta membuka meterainya. Pengajaran tentang Takhta Allah
adalah suatu topik tersendiri, tetapi yang saya ingin tunjukkan
dalam hal ini adalah bahwa Yohanes menjawab panggilan dari kunjungan
ilahi tersebut untuk naik ke tingkat yang lebih tinggi dari yang
pernah ia lakukan sebelumnya. Ketika ia menanggapinya, ia melihat
hal-hal yang kita baca dalam kitab Wahyu.

Ketika kitab Wahyu diberikan kepada gereja setelah pertemuan ilahi
ini, gereja disegarkan dengan api yang baru dari surga. Gereja
memahami bahwa mati bagi Injil merupakan hikmat Allah, daripada
bertahan dalam penderitaan zaman ini. Injil tersebar, gereja
disegarkan, penginjilan meledak kembali, dan kehidupan Allah nampak
dalam hidup orang-orang percaya. Hari ini, berapa banyak dari kita
yang sungguh-sungguh mengalami pertemuan ilahi seperti yang dialami
Yohanes, yang mencangkokkan kehidupan Roh ke dalam gereja dan
pelayanan? Berapa banyak dari kita yang telah menyediakan waktu
untuk memasuki tempat doa untuk mencari wajah-Nya sampai Ia menjawab
kita? Tanpa penglihatan akan kemuliaan, pesan yang kita beritakan
tidak lengkap dan kita tidak dapat memberitakan pesan tersebut
dengan pemahaman penuh. Saya percaya bahwa inilah salah satu tempat
yang tidak dimiliki oleh gereja dan sangat dibutuhkan gereja saat
ini, yaitu memasuki tempat doa dan menerima penglihatan akan
kemuliaan. Kita memberitakan sebuah pesan meskipun kita tidak dapat
sungguh-sungguh menjawab pertanyaan yang ada dalam hati banyak
manusia, sebab kita sendiri belum mengalami hal-hal tersebut.

Pertemuan berikutnya yang kita lihat tentang Betania, tempat
kediaman Yesus, menunjukkan penglihatan akan kemuliaan Allah di
Bukit Zaitun, yang sesungguhnya berada di sebelah Betania. Bukit
Zaitun yang berada hanya 1 atau 2 mil di luar Betania tersebut
menghalangi sebagian Betania. Bukit tersebut adalah tempat pohon
zaitun bertumbuh. Itu adalah tempat matahari menyinari
cabang-cabangnya agar bertumbuh dan menghasilkan buah. Itu juga
merupakan tempat Bapa menyinarkan wajah-Nya kepada Anak dan
menghasilkan buah khusus yang melimpah. Di sinilah pertemuan yang
berikutnya untuk membangun sebuah tempat kediaman tersingkap. Kita
menemukan pertemuan ini dalam Lukas 9, yang secara umum disebut
sebagai kejadian Yesus dimuliakan di atas gunung. Para murid diminta
untuk pergi bersama Yesus dan berdoa. Yesus menyelinap dari
kesibukan-Nya dan Ia ingin agar murid-murid-Nya mengalami sukacita
dan kenikmatan dari doa. Dalam Yesaya 56:7, "mereka akan Kubawa ke
gunung-Ku yang kudus dan akan Kuberi kesukaan di rumah doa-Ku. Aku
akan berkenan kepada korban-korban bakaran dan korban-korban
sembelihan mereka yang dipersembahkan di atas mezbah-Ku, sebab
rumah-Ku akan disebut rumah doa bagi segala bangsa."

Ketika Yesus membawa murid-murid ke Bukit Zaitun, Ia memberikan
kepada mereka kunjungan ilahi yang kemudian dijawab oleh Yohanes
tentang naik ke tempat yang lebih tinggi dan melihat hal-hal yang
akan datang. Para murid memperoleh kesempatan untuk naik ke Gunung
Allah yang kudus dan di sana mereka dapat mengalami sukacita doa.
Meskipun demikian, ketika Yesus meluangkan waktu bercakap-cakap
dengan Bapa, para murid tertidur. Hari ini, tampaknya banyak gereja
sedang tertidur, dan kita harus dibangunkan untuk dapat
sungguh-sungguh melihat dan memahami apa yang Allah kerjakan pada
saat ini. Yesus dan Bapa sedang berada di tengah percakapan ilahi
pada saat ini di gunung yang kudus. Kira-kira, apakah yang Mereka
katakan?

Ketika para murid akhirnya bangun, mereka melihat wajah Yesus
berubah. Alkitab berkata bahwa Ia bersinar, yang diterjemahkan
sebagai "seperti dibungkus oleh terang" [TB: putih bersinar seperti
terang, Red.]. Saya percaya, ketika kebangunan rohani dan
kebangkitan datang, kedua hal tersebut akan terjadi secara tiba-tiba
di dalam gereja. Mata kita akan terbuka dan kita akan melihat Yesus
bersinar seperti terang di hadapan kita. Terang Injil dan pewahyuan
akan Yesus ini akan meliputi kita sepenuhnya. Inilah kebenaran kita
yang bersinar sebagai keselamatan kita, menyala seperti Anak Domba
(Yesaya 62:1). Keselamatan kitalah yang mengakibatkan terang itu.
Kebenaran kitalah yang menangkap refleksi dari api keselamatan.
Refleksi inilah yang dilihat oleh orang lain. Mereka tidak dapat
sungguh-sungguh melihat keselamatan kita; mereka melihat buahnya,
sama seperti buah zaitun menyatakan karya yang tak terlihat dari
cabang-cabangnya. Pada pertemuan di atas gunung ini, para murid
mengalami hal yang sama seperti yang Yohanes alami. Mereka semua
melihat dan mendengarkan kemuliaan Allah dinyatakan dalam saat-saat
doa ini. Pertemuan semacam inilah yang mengubah kita selamanya.

Doa menjadi bagian penting dalam setiap kebangunan rohani, sebab
dengan berdoa hati kita diubahkan. Doa adalah tempat kerinduan batin
diwujudkan. Doa adalah tempat setiap orang percaya diubahkan dan
mendengar serta melihat alam kemuliaan. Doa adalah kunci dalam
melepaskan mukjizat-mukjizat yang kita lihat dalam kebangunan
rohani. Doa adalah pintu yang terbuka dari alam kemuliaan yang
sangat kita rindukan. Tanpa doa, tidak ada tempat kediaman Allah
sebagai tempat bercakap-cakap. Untuk memiliki percakapan, Anda harus
dekat dengan seseorang agar dapat berbicara dengannya dan
mendengarkannya. Doalah yang mengundang Allah untuk mendekat.

Mungkin kita rindu agar orang lain dan bukan kita sendiri yang
mendoakan kita. Mungkin kita rindu agar pemimpin kita yang membuka
jalan. Setiap orang percaya harus memanfaatkan kesempatan untuk
mendekat kepada Allah, walaupun sebagai pemimpin kita harus memimpin
jalan ke dalam waktu doa. Setiap orang percaya memiliki kemampuan
untuk membangun tempat kediaman Allah. Hal-hal lainnya yang kita
lihat dari pertemuan di gunung Transfigurasi [tempat Yesus berubah
rupa, Red.] adalah bahwa hal itu terjadi untuk orang-orang lingkar
dalam. Ia mengajak Petrus, Yohanes, dan Yakobus, ketiga murid yang
terdekat dengan hati-Nya. Ia mengundang mereka ke tempat doa. Petrus
sangat tergerak oleh apa yang ia lihat sehingga ia berkata, "Guru,
betapa bahagianya kami berada di tempat ini. Baiklah kami dirikan
sekarang tiga kemah, satu untuk Engkau, satu untuk Musa, dan satu
untuk Elia" (Lukas 9:33), tanpa mengetahui apa yang sesungguhnya ia
katakan.

Kerinduan hati Petrus setelah ia mengalami saat doa ini, terlepas
dari kenyataan bahwa ia tertidur, muncul ketika ia melihat suatu
pandangan dari alam kemuliaan Allah dan manifestasi hadirat-Nya
sehingga ia tidak ingin pergi tetapi ingin menyembah. Ia ingin pergi
ke tempat ia dapat merasakan kedekatan [Allah] dan tidak ingin
pergi. Sering kali kita mengalami hal yang sama dalam penyembahan
atau doa kita -- seakan-akan Allah begitu dekat dan kita ingin
tinggal. Saat-saat seperti ini waktu terasa seperti berhenti, lalu
tiba-tiba saat-saat tersebut berlalu. Tuhan ingin agar kita lebih
dari sekadar tinggal. Ia ingin agar kita menjadi bagian dari apa
yang sedang Ia lakukan, dengan cara menikmati-Nya. Hal yang kita
butuhkan adalah meningkatkan dan memperbesar kapasitas kita bagi
Dia. Kita harus memperbesar fokus kita. Kita harus meningkatkan
kemampuan kita dalam doa dan menyembah. Lagipula, apakah kita
sekadar mengejar lawatan-Nya ataukah kita ingin berdiam?

Setelah Petrus berbicara, awan kemuliaan datang dan menaungi mereka.
Banyak kali, Allah datang dan jalan-jalan-Nya lebih tinggi daripada
jalan-jalan kita dan rancangan-Nya menyatakan sesuatu yang sama
sekali berbeda dari apa yang kita rancangkan. Ayat tersebut berkata
bahwa awan kemuliaan datang dan menaungi mereka. Kata menaungi
berarti "membungkus atau membayangi". Kata itu berasal dari bahasa
Yunani yang berarti "bayangan yang terjadi karena menangkap terang"
atau "sebuah gambaran disebabkan oleh obyek yang melambangkan bentuk
dari obyek tersebut". Awan yang menaungi mereka, kemuliaan Allah,
berada pada sisi belakang dan merefleksikan awan yang memancarkan
bayangan tersebut kepada mereka. Dan Alkitab berkata bahwa mereka
menjadi takut ketika mereka masuk ke dalam awan itu. Ketika kita
memasuki hadirat Allah yang sejati, takut akan Tuhan akan
mencengkeram hati kita.

Banyak dari apa yang kita sebut sebagai kemuliaan Allah atau awan
kemuliaan Allah sesungguhnya hanyalah refleksi dari kecemerlangan
Allah yang terlihat, dan bukan diri-Nya sendiri. Kita begitu takjub
oleh karena urapan yang segar atau tingkat urapan yang lebih dalam
sehingga kita mengacaukan antara urapan dengan kemuliaan. Kita
merasa puas dengan urapan, sementara yang Tuhan ingin berikan adalah
kemuliaan. Urapan bertujuan untuk memenuhi kebutuhan umat, tetapi
kemuliaan adalah untuk menyatakan hadirat-Nya. Urapan adalah bagi
bagian luar rumah, kemuliaan bagi bagian dalamnya. Kemuliaan Allah
turun dan manifestasi hadirat Allah datang, takut akan Allah akan
mencengkeram hati manusia dan kita akan tahu pasti bahwa mereka baru
saja bertemu Yesus. Kesaksian mereka akan menjadi lebih dalam, pesan
yang keluar lewat hidup mereka akan semakin besar, dan datang kepada
Allah dalam doa akan menjadi suatu sukacita. Inilah yang terjadi
dalam hidup orang-orang yang telah melihat dan mengalami penglihatan
akan kemuliaan semacam ini.

Para murid memiliki kesimpulan yang sama dengan Yohanes Pembaptis
bahwa Yesuslah Kristus, Dialah Anak Allah, dan Dialah yang
[dinubuatkan] akan datang. Pewahyuan semacam ini hanya terjadi
kepada mereka yang sungguh-sungguh mencari kebangunan rohani. Doa
atau komunikasi ilahi memampukan kita untuk melihat keindahan
kekudusan dan memasuki iman yang sejati. Tidak ada orang banyak yang
ditambahkan di sini; inilah tempat rahasia dari kebangunan rohani.
Inilah tempat doa. Inilah karya tersembunyi yang tetap tidak
terlihat. Inilah tempat tanda-tanda ajaib dan mukjizat dilahirkan.
Ketika mereka turun dari Bukit Zaitun, Petrus, Yakobus, dan Yohanes
tidak menceritakan kepada siapa pun apa yang terjadi. Keesokan
harinya ketika mereka turun untuk menunjukkan bahwa mereka telah
melewatkan sepanjang malam dalam doa, orang banyak
berbondong-bondong menantikan mereka di kaki bukit.

Kehidupan tanpa doa adalah kehidupan tanpa kuasa. Dalam Lukas 9:38-42,
Yesus bertemu dengan seseorang yang memiliki anak yang kerasukan
setan. Pria tersebut menjelaskan bahwa mendadak anaknya berteriak
dan roh tersebut mengguncang-guncangkannya sehingga mulutnya berbusa
dan roh itu menyiksa dia. Ia telah meminta kepada murid-murid-Nya
untuk mengusir roh itu tetapi mereka tidak dapat. Lalu Yesus
berkata, "Hai kamu angkatan yang tidak percaya dan yang sesat,
berapa lama lagi Aku harus tinggal di antara kamu dan sabar terhadap
kamu? Bawa anakmu itu kemari!" (ayat 41) Ia mengusir setan itu
keluar.

Para murid dihardik, Ia menyebut mereka tidak percaya dan sesat.
Mereka baru saja mengalami Bukit Zaitun, tempat doa. Hal yang Yesus
maksudkan adalah bahwa mereka harus melewatkan waktu dalam doa jika
mereka ingin memiliki kuasa untuk mengalahkan segala sesuatu yang
akan menyerang serta melawan mereka dan orang-orang. Iman timbul dan
selalu bergantung pada pemahaman dan penerimaan kita akan
pengampunan ketika kita bertobat. Jika kita tidak memiliki keyakinan
dalam hal ini, bagaimana mungkin kita dapat melangkah lebih jauh
untuk mengusir setan?

Bukit Zaitun memiliki tipologi lain di dalamnya. Semak-semak zaitun
tumbuh di sisi bukit agar memperoleh sinar matahari paling banyak
agar hidup dan bisa menghasilkan buah zaitun yang paling besar.
Zaitun itu lalu dipetik dan diperas dan menghasilkan minyak zaitun.
Sering Allah membuat kita pergi ke tempat yang disinari terang-Nya,
sebab kerinduan-Nya adalah mengirik kita agar minyak atau urapan
tersebut dapat mengalir dari hidup kita. Dalam doa sering kali
terjadi pemerasan dari hal-hal yang akan melawan kita. Hal itu
memampukan kita untuk berjalan dalam urapan yang lebih besar dan
memampukan urapan Allah yang telah ada menyatakan diri. Sama seperti
zaitun yang tidak memiliki nilai sampai ia diperas, sebab yang
dicari adalah minyak yang ada di dalamnya, hal yang sama juga yang
Allah cari dari hidup kita. Karunia-karunia dan hal-hal yang
tersembunyi yang telah Ia taruh dalam hidup kita dan urapan yang
belum terpakai harus bangkit ke permukaan. Allah rindu melakukannya.
Ia rindu urapan tersebut bertambah dalam hidup kita.

Mungkin kita harus pergi ke tempat yang lebih tinggi terlebih dahulu
sebelum kita melihat lawatan turun. Mungkin kita harus memahami dan
memiliki takut akan Allah seperti yang dimiliki oleh mereka yang
berada di gunung tempat Yesus dimuliakan, agar ketika Allah
menyatakan diri dalam ibadah-ibadah kita dan melakukan hal-hal yang
dahsyat, kita tidak akan mencuri kemuliaan tersebut bagi diri kita
sendiri, tetapi memuliakan dan menyukakan Dia, sebab kita tahu bahwa
segala yang kita miliki berasal dari-Nya. Bahkan urapan adalah
milik-Nya yang Ia titipkan pada kita. Dialah yang telah membawa
kehidupan atas kita. Dialah yang telah membawa kita pada kepenuhan
dari yang kita hidupi sekarang. Namun, kita tidak akan pernah
melihat kuasa mengalir melalui gereja sampai para pemimpin terlebih
dahulu pergi ke tempat tinggi, lalu umat mengikuti mereka. Kita
harus naik ke Bukit Zaitun dan melihat Yesus dimuliakan dalam hidup
kita, melihat Dia sebagaimana adanya Dia, memahami alam kemuliaan,
dan menerima penglihatan akan kemuliaan.

Diambil dan disunting dari:
Judul asli buku: The House of Bethany
Judul buku: 5 Kunci Kebangunan Rohani di Kota Anda
Judul artikel: Penglihatan dalam Kemuliaan: Doa
Penulis: Greg Crawford
Penerjemah: Leony Melina
Penerbit: Yayasan ANDI, Yogyakarta 2005
Halaman: 48 -- 58
______________________________________________________________________
TOKOH DOA

EZRA: TOBAT NASIONAL

Ezra bin Seraya adalah seorang ahli kitab yang mahir dalam Taurat
(Ezra 7:6; Nehemia 8:3). Ia memahami segala perintah dan ketetapan
Tuhan bagi orang Israel (Ezra 7:11). Ia juga seorang imam, pemimpin
doa dan ibadah (Ezra 7:11). Di Persia, tempat bangsa Israel dibuang,
Ezra dipercaya oleh raja Artahsasta (Artahsasta I) untuk menangani
kehidupan bangsa Israel. Kedudukannya di pemerintahan Persia
barangkali semacam Kepala Departemen Urusan Orang Yahudi.

Sama seperti raja Koresy dulu, Artahsasta sangat menghargai
orang-orang Israel yang tinggal di negerinya. Bahkan, ia mendorong
mereka untuk pulang dan membangun kembali bait Tuhan di Yerusalem.
Untuk itu, raja Artahsasta mengutus Ezra beserta rombongan
orang-orang Israel untuk pulang ke Yerusalem pada tahun 458 SM.

Raja Artahsasta memandang Ezra sebagai pemimpin atau pemuka bangsa
Israel. Karena itu, raja memfasilitasi perjalanan Ezra dan rombongan
Israel tersebut. Artahsasta sangat baik, ia memberi Ezra segala yang
diingininya (Ezra 7:6b). Raja memberikan banyak bantuan material dan
finansial untuk pembangunan Rumah Tuhan di Yerusalem (Ezra 7:20).
Dalam surat resminya, raja mengatakan bahwa ia telah memerintahkan
semua bendaharanya untuk membantu keuangan yang Ezra perlukan (Ezra
7:21).

Sebagai seorang pemimpin kepercayaan, Ezra diberi wewenang oleh raja
untuk mengangkat pemimpin-pemimpin lainnya. Artahsasta memberinya
tugas dan otoritas: "[H]ai Ezra, angkatlah pemimpin-pemimpin dan
hakim-hakim sesuai dengan hikmat Allahmu yang menjadi peganganmu,
supaya mereka menghakimi seluruh rakyat yang diam di daerah seberang
sungai Efrat, yakni semua orang yang mengetahui hukum Allahmu; ...."
(Ezra 7:25).

Kepemimpinan Ezra sendiri sangat menonjol di kalangan orang-orang
Israel yang merindukan tanah air mereka itu. Dengan penuh
kewibawaan, Ezra menghimpun orang-orang Israel dan memimpin mereka
untuk pulang (Ezra 7:28b).

Bangsa Israel menghormati Ezra sebagai seorang pemimpin dalam
pengajaran firman Tuhan. Mereka mengakui kepakaran Ezra dalam
[pengetahuan tentang] Taurat. Mereka menghormati urapan jawatan
sebagai pengajar yang Tuhan berikan kepada hamba-Nya itu. Setelah
pendirian tembok kota Yerusalem selesai, Ezra mengajarkan Taurat
kepada seluruh rakyat sehingga mereka menjadi sadar dan bertobat
(Nehemia 8:1-10:39).

Kehidupan Doanya

Ezra pastilah seorang pemimpin yang memiliki kehidupan doa yang
kuat. Alkitab mencatat bahwa tangan Tuhan melindunginya (Ezra 7:6c)
dan Allah begitu melimpahkan kemurahan atas kehidupan dan pelayanan
kepemimpinannya (Ezra 7:9). Orang yang dekat dan mengandalkan Tuhan
pasti diberkati-Nya secara khusus.

Kehidupan doa Ezra, dalam arti hubungan akrabnya dengan Tuhan,
dibangun di atas dasar firman Tuhan. Ezra memiliki tekad yang sangat
kuat untuk meneliti Taurat Tuhan (Ezra 7:10). Ezra melakukan
penyelidikan itu tidak semata-mata sebagai sebuah studi atau riset
ilmiah karena ia seorang pakar Taurat, tetapi juga sebagai
perenungan atau meditasi rohani sehari-hari karena ia seorang imam.

Belakangan ini banyak pemimpin Kristen mengambil studi lanjut (S-2
atau S-3) di bidang teologi, baik teologi sebagai ilmu murni ataupun
ilmu terapan. Tetapi, sering kali pendalaman firman Tuhan melalui
studi seperti itu hanya untuk menambah ilmu dan tingkat kemampuan
akademis, tidak ada hubungannya dengan kehidupan doa. Seorang
pemimpin Kristen juga harus menyelidiki firman Tuhan sebagai sebuah
perenungan atau meditasi rohani melalui doa dan saat teduh setiap
hari.

Sebelum memimpin bangsa Israel pulang ke Yerusalem, Ezra melakukan
tindakan berikut ini: "Aku menguatkan hatiku, karena tangan Tuhan,
Allahku, melindungi aku" (Ezra 7:28b). Ezra memantapkan hati,
pikiran, dan mental, sebelum menjalankan kepemimpinannya. Dari
kalimat itu, tampak bahwa Ezra memohon kekuatan yang dari Tuhan.
Demikian juga pemimpin Kristen masa kini, Roh Kudus akan memberi
kekuatan mental melalui doa-doa yang kita naikkan.

Spirit doa Ezra sangat terlihat dari tindakannya menggerakkan umat
Israel untuk berdoa puasa secara massal. Karena telah memperoleh
banyak harta serta dukungan moral dari raja Artahsasta, Ezra merasa
malu meminta lagi bantuan pengawalan militer dari kerajaan Persia
itu (Ezra 8:22). Di sisi lain, ia menyadari bahwa perjalanan pulang
menuju Yerusalem sangat berisiko, apalagi rombongannya besar dan
membawa banyak barang berharga.

Ezra percaya bahwa Tuhan sanggup melindungi perjalanan pulang
mereka. Karena itu, Ezra memaklumkan doa puasa, memerintahkan umat
Israel untuk merendahkan diri dan memohon perlindungan dari Tuhan
(Ezra 8:21). Ada kalanya kita tidak bisa lagi meminta bantuan
manusia. Dalam hal ini, seorang pemimpin dituntut untuk mengandalkan
Tuhan, bergantung pada perlindungan-Nya yang ajaib.

Doa Pertobatan

Ezra melihat bahwa orang-orang Israel yang pulang itu sudah
menyimpang dari perintah Tuhan. Sampai-sampai para imam pun telah
mengambil perempuan kafir menjadi istri-istri mereka. Perilaku
menyimpang dari perintah Tuhan itu merupakan kekejian di hadapan
Allah Israel (Ezra 9:1-2, 14).

Melihat dosa itu, Ezra berkabung, tulisnya: "Ketika aku mendengar
perkataan itu, maka aku mengoyakkan pakaianku dan jubahku dan aku
mencabut rambut kepalaku dan janggutku dan duduklah aku tertegun"
(Ezra 9:3). Seorang pemimpin sejati akan hancur hati ketika rakyat
atau jemaatnya jatuh di dalam dosa.

Hancur hati merupakan modal dasar bagi sebuah doa yang berkenan.
Sering kali pemimpin Kristen tidak merasa bersalah apa pun ketika
ada anak buahnya yang jatuh dalam dosa. Ia tidak menyesal karena
gagal membina domba-dombanya. Pemimpin Kristen yang baik akan hancur
hati -- meskipun bukan berarti berlarut-larut dalam kesedihan --
ketika melihat jemaat atau orang-orangnya jatuh dalam dosa. Dari
hati yang hancur itulah muncul doa yang tulus kepada Tuhan, sama
seperti Ezra yang kemudian berdoa memohonkan pengampunan bagi umat
Israel.

Sangat menarik jika kita mencermati reaksi Ezra kepada kaum Israel
yang berdosa itu. Ia tidak marah, dongkol, atau kecewa kepada
mereka. Ezra bukan tipe pemimpin yang suka menghakimi, menuduh, dan
mempersalahkan orang-orangnya. Tetapi, Ezra juga sangat merindukan
pertobatan kaumnya itu.

Ezra adalah seorang pemrakarsa kebangunan rohani. Akan tetapi ia
mempertobatkan orang bukan dengan khotbahnya yang berapi-api; ia
mempertobatkan orang banyak melalui doa yang dinaikkannya dengan
penuh penghayatan mendalam. Ia tidak berdiri di podium untuk
menyampaikan khotbah, tetapi ia berdiri di depan jemaah untuk
menaikkan doa-doa penyesalan (Ezra 9:5-15). Ezra berlutut,
mengoyakkan pakaian dan jubahnya, lalu menadahkan tangannya ke
hadirat Tuhan, serta menaikkan doa-doa penyesalan (Ezra 9:5).

Apa yang terjadi kemudian? Sementara Ezra berdoa dan mengaku dosa
sambil menangis, umat Israel berbondong-bondong datang dalam jumlah
yang sangat besar. Orang-orang itu menangis keras-keras (Ezra 10:1).
Terjadilah pertobatan nasional dan pembaruan komitmen kepada Tuhan.
Kadang, pemimpin Kristen tidak perlu berkhotbah untuk menyadarkan
kesalahan jemaatnya; mereka cukup berdoa, dan Roh Kudus menjamah
setiap orang sehingga mereka pun bertobat.

Diambil dan disunting seperlunya dari:
Judul buku: Mezbah Doa Para Pemimpin
Penulis: Haryadi Baskoro
Penerbit: Yayasan ANDI, Yogyakarta 2008
Halaman: 57 -- 62
______________________________________________________________________
STOP PRESS

KADOS (Kalender Doa SABDA)

Puji Tuhan, satu lagi sebuah publikasi baru diterbitkan oleh YLSA.
Publikasi yang bernama KADOS (Kalender Doa SABDA) ini adalah sebuah
publikasi yang lahir dari kerinduan YLSA untuk memberikan panduan
doa yang berisi panduan bagi Indonesia dan pelayanan YLSA kepada
Tubuh Kristus, agar melalui kesatuan hati dari setiap Tubuh Kristus,
Tuhan melawat dan memulihkan Indonesia serta nama Tuhan
dipermuliakan.

Publikasi yang terbit setiap minggunya ini sifatnya terbuka bagi
denominasi gereja mana pun. Dengan menjadi pelanggan KADOS, maka
secara otomatis Anda juga menjadi pelanggan e-Doa, Open Doors, dan
30 Hari Doa. Jadi bagi pendoa-pendoa Kristen Indonesia yang ingin
dibekali menjadi pendoa Kristen seutuhnya, tunggu apa lagi? Kami
tunggu keikutsertaan Anda di publikasi ini.

==> < doa(at)sabda.org > [kirim pesan]
==> < subscribe-i-kan-buah-doa(at)hub.xc.org > [berlangganan]
______________________________________________________________________
Kontak Redaksi: < doa(at)sabda.org >
Berlangganan: < subscribe-i-kan-buah-doa(at)hub.xc.org >
Berhenti: < unsubscribe-i-kan-buah-doa(at)hub.xc.org >
Arsip e-Doa: http://www.sabda.org/publikasi/e-Doa
Situs DOA: http://doa.sabda.org
Facebook DOA: http://fb.sabda.org/doa
Twitter DOA: http://twitter.com/sabdadoa
Situs YLSA: http://www.ylsa.org
Situs SABDA Katalog: http://katalog.sabda.org
______________________________________________________________________
Pimpinan Redaksi: Novita Yuniarti

Isi dan bahan adalah tanggung jawab Yayasan Lembaga SABDA
Didistribusikan melalui sistem network I-KAN
Copyright (c) 2010 e-Doa, Kalender Doa SABDA / YLSA -- http://ylsa.org
Rekening: BCA Pasar Legi Solo No. 0790266579 / a.n. Yulia Oeniyati
_________________________________

Kamis, 17 September 2009

The Dividing Asunder


The Dividing Asunder

By Morris E. Ruddick www.strategicintercession.org


"Enter by the narrow gate; for wide is the gate and broad is the way that leads to destruction and many are those who go in by it. But narrow is the gate and difficult is the way which leads to life, and there are few who find it." Matthew 7:13

The King James translation of Hebrews 4:12 refers to the "dividing asunder." "Asunder" is the place of key distinction between different parts. The "dividing asunder" is where those distinctions are blurred and veiled. Since the days of Adam and Eve, the evil one has sought to mask key distinctions between soul and spirit.

The times have become uncertain. Nations, cultures and communities have been subjected to wide swings of change. People are looking for answers. People want to be enlightened. Yet, historically the search for enlightenment has instead more often produced masks over what should be spiritual distinctions.

The Enlightenment Illusion
Black has been called white and white black; evil has been called good and good evil, with the resulting contagion referred to as enlightenment. In the early twentieth century the "enlightened" were liberated from personal responsibility when Freud's spin on psychology became the rage, blaming ones' shortfalls on their upbringing and adherence to chaste mores. Its precepts released a subtle force undermining the virtue upheld by the culture at that time.

Jesus pulled back the veil of confusion that masked the pathway into true enlightenment. Introducing His earthly ministry with the words, "the Kingdom of God is at hand," He prepared His disciples to enter by a different dimension. It was the gateway to restore God's original mandate for His people to rule over the work of His hands. It was the narrow path to releasing His Kingdom "on earth, as it is in heaven."

Paul began his letter to the Romans by applauding them for their faith. He noted that their faith was being spoken of throughout the world. In that same sequence Paul mentioned the mutual faith he shared with them. Yet, in verse eleven he expressed his desire to impart "a spiritual gift to them, that they might be established." Then in the fifteenth verse, he tells them that he was "ready to preach the gospel to them."

Paul was unmasking the dividing asunder between those who believe and those whose faith will make a difference. His reference to "preaching the gospel to them" was to the Kingdom distinction that would establish the Romans in the destiny entrusted to every believer to "turn world upside down" (Acts 17: 6).

The Fine Line
The dividing asunder: it's the fine line faced by all believers in making a difference by establishing God's Kingdom rule. It's the distinction between the gospel of salvation and the gospel of the Kingdom. It's the fork in the pathway between the impact made by the good intentions of the soul and the perfect result of the Spirit. It's the difference between having your ears tickled and paying the cost of a high calling. It's the reality-of-God needed to restore godliness in a world seeking the secular enlightenment that has minimized the power in God's people, as the pathway of destruction has been widened.

The masks that have blurred soul and spirit have created potent spiritual counterfeits, counterfeits of destruction that have added to the very turbulence people have sought to avoid. Paul's opening words to the Romans goes on to refer to those who suppress the truth in ungodliness and unrighteousness.

The Key Distinction
Jesus said that it would be by knowing the truth that we would be set free. Yet today even those, like Paul was writing to in Rome, who we share a mutual faith with, have need of an "impartation of a spiritual gift, that they might be established." They need the gospel, the full Gospel, preached to them. When Jesus referred to the gospel it was to the gospel of the Kingdom, which restores the original purpose God had for His people: to rule over the work of His hands.

The truth Jesus imparted, that would set us free, involves reestablishing God's authority. It is what the Scripture refers to as dominion, the mandate for God's Kingdom rule. It bears on the dividing asunder between soul and spirit.

Dominion, the foundation for God's Kingdom rule, is what is lacking in the quest for enlightenment among believers whose sights have been limited to conforming to the standards of those around them. It's the blurring of the spiritual realities resulting in believers whose aim is to become like the world around them. In so doing, they quench the Spirit's power and potential to bear world-changing fruit.

Kingdom Identity
Jesus said to: "seek first the Kingdom of God and His righteousness." In short, we muddy the pathway, by going head to head with the world around us, when we hold the Kingdom advantage and the Spirit. Proverbs 3:5 tells us that in trusting the Lord, not to lean unto our own understanding. Walking in the Spirit is an entirely different dimension. It's where it all begins. It's beyond our limited understanding. It's the catalyst to true enlightenment.
"It is the Spirit who gives Life. Human effort accomplishes nothing. And the very words I have spoken to you are spirit and life." John 6:63 NLT

Every believer is given a measure of faith. To what end that faith is applied is the distinction Paul was making. Until we truly yield ourselves to be vessels of His purpose and bridge that dividing asunder, we will remain spiritually anemic and stuck between soul and spirit. It was what distinguished Joseph the Patriarch in the eyes of the Egyptians around him, as the scripture describes him in Potiphar's house.
"The Lord was with Joseph and he was a successful man; and everyone saw that the Lord was with Joseph and made all that he did to prosper." Genesis 39: 2-3

Paul went on to explain to the Romans about the most basic spiritual gifts, by which their pathway would be established; gifts that would distinguish them and their efforts from everyone else.
"So it depends not on human will or exertion, but on God who shows mercy."
Rom 9:16 NRSV

The Dividing Asunder of Culture
The blurring of the arena of culture has been diabolically subtle. By penetrating and establishing itself in societal cultures, the kingdom of darkness has confused the genuine cultural identities of unique social groups with the standards of destruction that become known as "the world." This is the reason Paul admonished the Romans not to be conformed to this world, but to be transformed by the renewing of their minds, that they may prove what is that good and acceptable and perfect will of God. Romans 12:2 NKJV

Paul was unveiling the steps needed to become established and reach for that perfect will of God. In that same sequence, he outlined seven key gifts whose unique operation in each believer would determine not only their individual identities and callings in the Lord, but the distinction they would embrace as a people in a world gone amok.

The Heart of Darkness
Rome spiritually represented the seat of power of the world of its day. It was the heart of darkness in the struggle between soul and spirit. Its significance in Paul's day should awaken us to the distinctions that, like Joseph the Patriarch, we might establish God's Kingdom rule and bring transformation to the seats of power in the world around us.

Paul, schooled in Jewish tradition spent the first three years after his conversion in the desert communing with the Spirit of the Lord. The resulting revelations gave clarity to the distinctions that had been blurred in the covenant calling of the Jewish people. Paul then went on to plant the seeds of transformation in the Gentile world that was described in Acts 17 with the words: "these who have turned the world upside down have come here too!"

Yet, here the church is in the twenty-first century; building buildings and creating programs of relevance that attract new members while the world sets both the standard and the pathway to which we conform. We seem blind to see the distinction beyond an identity of a higher level of ethics and of being such nice people.

That which once pierced the impossible with the possible is explained by human reasoning. The prospect of the ordinary becoming the extraordinary is swallowed up by those seeking to be like everyone else.

Crossing the Threshold
Entering the narrow path Jesus spoke of represents both the start and the challenge. The gateway into God's Kingdom is narrow, indeed. Yet, it serves to form the very distinction that bridges the natural with the supernatural, naturally. It leads in a pathway that consists of the power of God that changes nations.

In the early eighties, as a committed believer called with a calling into uncharted waters, I was facing some unexpected challenges. I was grounded in God's Word, but operating beyond my natural abilities. My pastor imparted some advice that I didn't understand at the time, but that I heeded. His advice was to take three or four days alone with the Lord and do nothing but pray in the Spirit. I found that easier said than done, but I pressed through and emerged changed. That change might best be described as the gate to the bridge crossing the dividing asunder between soul and spirit. It provided and provides the release tied to the gifts Paul describes in Romans 12 that operationally were previously only trickles comparatively.

The gateway is that leap of faith we consciously take, after counting the costs, into what the scripture describes as walking in the spirit.
"If we live in the Spirit, let us also walk in the Spirit." Galatians 5:25

The Amplified version of Hebrews 4:12 reveals: "Every word that God speaks is quick and powerful and sharper than any two-edged sword, piercing even to the division between soul and spirit." The dividing asunder between soul and spirit is simultaneously the battleground and the bridge into the supernatural. It is the narrow path into the arena where the Kingdom of God reigns and brings the kingdom of darkness to its knees.

It's the path in which we lead by serving, we live by dying, we advance by yielding, we gain by giving. In God's kingdom, wisdom comes from simplicity, honor is a byproduct of humility, and order comes from change. It's in our weakness and humility that God's strength is manifested most fully.

It's the simple things that confound the wise. The narrow gate into God's Kingdom defines a pathway marked by the power of God. The power of God is predicated on hearing the voice of the Lord and obeying. It is the dividing asunder between what we can do for God and what we allow Him to do through us.
"Are you so foolish? After beginning with the Spirit, are you now trying to attain your goal by human effort? Have you suffered so much for nothing -- if it really was for nothing? Does God give you his Spirit and work miracles among you because you observe the law, or because you believe what you heard?"
Galatians 3:3-5 NIV
_________________________________________

Morris Ruddick has been a forerunner and spokesman for the call of God in the marketplace. He is author of "The Joseph-Daniel Calling" and "Gods Economy, Israel and the Nations," which address the mobilization of business and governmental leaders called to impact their communities with God's blessings. They are available from Amazon.com, BarnesandNoble.com and other popular outlets.

Mr. Ruddick is also the founder of the Global Equippers Entrepreneurial Program, which imparts hope and equips economic community builders where God's light is dim in both the Western and non-Western world. To schedule a speaking engagement, sponsor a workshop, make a donation or to get more information on how you can help, contact Global Initiatives at 303.741.9000.

2009 Copyright Morris Ruddick - response@strategic-initiatives.org

Reproduction is prohibited unless permission is given by a SIGN advisor. Since 1996, the Strategic Intercession Global Network (SIGN) has mobilized prophetic intercessors committed to targeting strategic-level issues impacting the Body on a global basis. For previous posts or more information on SIGN, check: http://www.strategicintercession.org

Minggu, 06 September 2009

A Sacrifice Worth Paying


A Sacrifice Worth Paying
Alice Smith

I’m amazed at the Christian men and women who through the ages were capable of soaring above their suffering to bring maximum glory to God. Such is the case with the Rev. Ki-ch’ol Chu from P’yongyang, South Korea. The name K-ch’ol Chu has become a symbol of martyrdom in Korea. Rev. Chu lived faithful to Jesus during the darkest hours of Korean history by adamant resistance to commands to worship the Shinto sun goddess of Japan. He knew he couldn’t serve two gods, so Rev. Chu refused Japanese pressure, nor to compromise his godly principles. After five torturous imprisonments, Rev. Chu died in prison.
Most Korean Christians are familiar with this martyr. And possibly his commitment, and those of other martyrs like Rev. Chu, today many Korean Christians live on the cutting edge of sacrificial missionary service and fervent intercessory prayer worldwide. They are militant for God; both those who live in South Korea, as well as those who live here in the U.S. and throughout the regions of the world.
Interestingly, the last words Rev. Chu shared with his members of the Sanjonghyon Church were:
“If I avoid the hardships I suffer for my Lord, what will I
say to Him when He asks me on that day: ‘You have
enjoyed my name, my peace and my joy. What did you do
with my cup of suffering?’ If I avoid the cross my Lord has
given me, the cross I have to carry for my Lord, how can
I bear to look at His face when He asks me on that day,
What did you do with the cross I gave you?’” Kwang-jo Chu,
More Than Conquerors, www.daesung.com

Question: Are you this determined to sell out to Jesus? Discussed in the book, Bibliography: The Korean War: “Korea had for years been dominated by the Chinese and Japanese government. By 1876 Korea was forced to accept a lopsided trade treaty with Japan, with similar treaties signed with the U.S., France, Briton, Russia, and Germany. The result of victory from the Russo-Japanese war of 1905 left Japan as the only major power, free to fully exploit Korea in a mad quest for imperial glory.
Even though Christianity had been introduced and received by the Koreans as early as the late 1800s, by 1905 Japan had assumed administration over Korea, which technically remained a separate country (although pretty much in name only). By 1910 even that farce was eliminated with the formal annexation of Korea by Japan, thus giving the new expansionist country its first colony. All government functions (police, fire, roads, etc.), as well as all industries, were taken over by Japanese, and Korea's economy was re-geared towards providing Japan with food and material for the expanding imperialistic efforts. Japanese became the official language, and Shintoism became the official religion. Usage of the Korean language (in print at first) was banned, and local religions were persecuted.
Such exploitation expanded in 1937, when Korea became the strategic base for operations in the Japan invasion of China. Korean men were conscripted to fight in the army, and Korean women were conscripted for use as sex slaves for Japanese troops. All use of the Korean language was banned outright, and all Koreans were forced to adopt new Japanese names. Punishment was severe, as evidenced with the good will gesture of the Japanese in the 1990's to return all of the cremated noses of hundreds of Korean women, which were cut off during this early period of Korean history. All forms of torture were used to keep the populace under control, and the country was laid waste by the oppression and exploitation of Japan. The situation was to last up to the end of the Second World War, when Korea was finally liberated by the Soviets and Americans.” [Author’s note: For brevity's sake, and my own sanity, I've kept the invective set on low. However, I can't emphasize enough the sheer amount and depth of Japanese cruelty of the time. Several museums in Korea go into this with more detail. But if you need modern events for perspective, just imagine the ethnic cleansing in Kosovo, lasting for 40 years.] Source: Adapted from the Bibliography: The Korean war; Hastings, Max; 1987, USA, Romadata Ltd. South Korea, A Country Study; Savada, Andrea Matles; Shaw, William; 1992.
I'm inspired by testimonies such as Rev. Chu. So right now let’s adopt a “Korean mindset” that is willing to lose all to gain Christ, for afterall, this kind of sacrifice is one worth paying.

Rabu, 02 September 2009

Why Is Common Sense So Uncommon?



Why Is Common Sense So Uncommon?
By Eddie Smith

Why is common sense so uncommon today?

One of Alice's and my dearest friends was Dr. Adrian Rogers. Adrian followed the legendary pastor and prince of preachers Dr. R. G. Lee as pastor of the historic Bellevue Baptist Church in Memphis , Tennessee .
Dr. Lee, also a dear friend, was made famous partly due to his classic sermon Payday Someday, which he preached more than 1,200 times!
Those two men were a blessed influence on us early in our ministry. Both were known for their wisdom.

Adrian, who went to be with the Lord in 2005, never saw the troubling things we are see today in our nation. But he did have a word that seems to me to be quite applicable. I'm deliberately separating it sentence by sentence so we can meditate on each thought. Dr. Rogers is quoted Dr. Rogers said:
"You cannot legislate the poor into freedom by legislating the wealthy out of freedom.

What one person receives without working for, another person must work for without receiving.

The government cannot give to anybody anything that the government does not first take from somebody else.

When half of the people get the idea that they do not have to work because the other half is going to take care of them, and when the other half gets the idea that it does not good to work because somebody else is going to get what they work for, that my dear friend, is about the end of any nation.

You cannot multiply wealth by dividing it."

(Source: http://www.rayfowler.org/2008/11/15/ten-great-adrian-rogers-quotes/)
Alice and I are blessed. We aren't wealthy, and don't have earthly wealth as a goal. We are laying up treasures in heaven.
And to be blessed with a pleasant home, food, and clothing is wonderful.
So wonderful that sometimes I find myself feeling sorry for those with less than we have.
Perhaps it's a housekeeper.
How about a hitchhiker?
Then there's the man working nights, buffing floors at Wal-Mart.
The young couple who are counting quarters to get the groceries they need.
It's enough to make me want to empty my pockets for their sake. Alice and I have always practiced the biblical injunction of benevolence. However, I must catch myself and remember:
When I was in the U.S. Navy, I did work nights buffing floors at the naval station.
When we were newly wed, we slept on the carpeted floor and kept our clothing in cardboard boxes because we had neither bed nor furniture. We did keep our food in an ice chest because we had no refrigerator. We did count quarters; pick up bottles along the highway; and grow our own vegetables--which we still do!

We did lose babies to miscarriages.
I did hitchhike. We did own several cars that burned more oil than gasoline.

We did lose everything we owned a couple of times. Yes, down to the very clothes on our backs. We were delighted to have enough money to buy toothbrushes and a friend's home to stay in. And since we lost our only vehicle and had to take a taxi; within an hour of losing all, we were blessed to lead the cab driver to faith in Christ.
It's easy for me to forget the long hard road we've traveled to be where we are; and to keep in mind that we could lose it all tomorrow and all would be fine.
I must guard my heart and not let my human sympathy for others replace the Lord as the guide to my benevolence.
You see, those difficult experiences drew us together as a couple; and drew us to God as our Source. Those difficult times formed Christ in us and taught us to trust nothing and no one but Him--ever!
For me to "bail out" the young couple or anyone else simply because I feel sorry for them is to rob them of the struggle.

It's the struggle that develops us. The Psalmist said, "In my distress He enlarged me."(Psa 4:1)
In whatever state you are in, be content.

If you are blessed today--be grateful.
If you're distressed today--be grateful. (Phil 4:6)

Godliness with contentment is great gain.
Unless you carefully allow the Lord to direct your benevolence, your intention to bless someone in need could actually rob them of even greater riches!

Is it possible that we could do that as a nation?

And, perhaps more importantly, is it our government's job to regulate our benevolence?

Why is common sense so uncommon?

Minggu, 30 Agustus 2009

Pray For Hunger


Pray For Hunger

by Francis Frangipane www.frangipane.org

Today many Christians have lost their hunger for God. Instead of coming into the Lord's presence hungry for more of His fullness, our thoughts are gathered to worldly concerns and fleshly distractions. At best, we are merely curious about spiritual realities, but not truly hungry.
Let me tell you a story that illustrates what I mean. We have a little a little dog named Sophie. Sophie loves people food. To her, eating people food is the culinary equivalent of entering the Kingdom of God. She loves our food. She even has a Bible verse that she claims in faith: "Even the dogs get the crumbs" (Matt 15:27).
When my wife and I share a meal, Sophie will sit at our feet, squint her eyes, and stare at us (she thinks squinting makes her cuter). Any food that falls to the floor instantly vanishes into her mouth. (We haven’t had to sweep the kitchen floor in eight years.) Frankly, she is always hungry for our food.
We also have a small fenced-in yard outside our porch where Sophie plays. The fence surrounds the area, but there are gaps where the wood pickets don't quite reach to the ground. If Sophie wanted, she actually could squeeze under the fence and get out, but she normally has no reason to try. Occasionally she will get curious and go as far as the gate, but she doesn't leave the yard.
One day, though, my wife decided to feed a few slices of stale bread to the birds, which happen to nest on a tree on the other side of the fence. When Sophie went out an hour later, she immediately noticed a human food smell in the air, which she tracked to the bread. In less than a heartbeat she found a little gap under the picket fence, squeezed herself to the ground, and then shimmied through the fence to the bread on the other side. It was gone in less than a minute.
My point is this: hunger will take you where mere curiosity would never go.
My friend, God is looking for hungry people. He is seeking people who are seeking Him. Indeed, He has bread from Heaven for us, and it is eternally satisfying. We cannot afford to settle into the routine of a fenced-in life, not when God has magnificent realities awaiting. Let us, therefore, follow our hunger into the presence of God.

Kamis, 27 Agustus 2009

The Secret of Spiritual Power


The Secret of Spiritual Power
by Chip Brogden
“God resists the proud, but gives grace to the humble. Submit yourselves therefore to God. Resist the devil, and he will flee from you” (James 4:6b,7).
There is a principle at work in our life and walk with the Lord, and it is the principle of strength out of weakness. “The meek are blessed, for they will inherit the earth” (Matthew 5:5). If we want the blessing of the Lord then we must learn what it is to be meek, for the proud will not inherit anything from Him.
The way of the world says that in order to be stronger, we must build ourselves up and seek strength and dominance over others. Christians everywhere are keenly interested in how to be increased, how to be stronger, how to take authority, how to rise up, how to get more. They look for methods, formulas, and techniques for becoming bigger and better. The results have been disappointing. Many mistakes have been made and many people have been hurt and disillusioned.
The Lord has a different approach for us to take. He invites us to accept weakness in order to be strengthened. We do not become strong by embracing strength, but by embracing weakness! This is the secret of all spiritual power. When Paul learned this secret he was able to say, “When I am weak, then I am strong” (II Corinthians 12:10b). This makes no sense to the natural man. I do not remember ever hearing anyone begin a teaching on spiritual warfare with this verse. It is no wonder, then, that these teachings never seem to produce any lasting fruit.
This passage of Scripture from James gives us further insight into why the strong are weak, and why the weak are strong. Our study of this verse may be divided into four distinct sections. Let us look at each one individually.
GOD RESISTS THE PROUD
Christians are full of many plans, many pursuits, many thoughts, many words, many things. It is impossible to say just how much of the flesh is involved in the things we undertake in the Name of Jesus. We know they cannot be purely spiritual works because often there is little fruit to be found. We labor and toil and work but it seems as if we make little or no progress. It seems as if something is always blocking our way and preventing us.
The automatic assumption is that anything which resists us or hinders us is of satanic origin. That is, if we encounter difficulty in our spiritual walk, our first reaction is to rebuke the devil, or ask the saints to pray for us to have a clear way. Certainly the devil will attempt to hinder us from anything we undertake that glorifies God and threatens the darkness. Yet we learn from James 4:6 that there is Someone else who can resist us. There is Another Who carefully watches what we do, and frequently hinders us from making progress.
It comes as a shock and surprise to some Christians to see one day that God, not the devil, is resisting them. The Lord Himself resists us, closes doors, causes things to be unfruitful, and spoils all our plans. How so? Because “God resists the proud.” This resistance from God is insurmountable. It is a fearful thing to fight the Lord. We spend most of our lives wrestling with God instead of cooperating with God, and in the end we have nothing to show for it. So much time and effort is wasted because we proceed in our own, stubborn way. We attribute all difficulties to the devil, or to other people, or our circumstances, or our environment, and fail to recognize that the Lord Himself is resisting us.
God resists the proud. This is an active resistance that will block our path like a huge rock or a great chasm. All who walk in pride are in league with the devil himself, and will receive the same judgment (cf. I Timothy 3:6). Brothers and sisters, this is a serious matter. If we harbor the least bit of pride then we will find ourselves on the wrong side of the Lord, but if we are humble before God and man then we cannot be defeated because…
GOD GIVES GRACE TO THE HUMBLE
The single requirement for grace is humility. But what is grace? Grace is more than just a theological term used to describe how we are saved. Grace is the power of God at work in my life to do what cannot be done in my own strength. Grace is energizing and proactive. When I have reached the end of myself then Grace Himself takes over and does what I am unable to do. In the first place, what I cannot do is save myself, and so I trust in the Grace of God, Jesus Christ, to save me. But Grace will not only bring me through the Gate; He will bring me down the Path. Grace does not just get me started in the right direction, but goes along with me every step of the way. For Grace is a Man!
It should be obvious that God will not give us grace while we are still proud. Why? Because He will allow no flesh to glory in His presence. He desires us to be thoroughly emptied of ourselves. When we cease doing what we cannot do then He begins to do what we cannot. The problem is that we still think we can do so many things. We must learn sooner, rather than later, that “apart from Me you can do nothing” (John 15:5b). Nothing! But it is human nature to try and do it ourselves. This human nature is the flesh. It prevents us from entering into Grace. God cannot save someone who is still trying to save themselves. Similarly, God cannot do what we are still trying to do. He will wait - weeks, months, or years - until we have exhausted our strength. When our strength is completely gone and we finally go to Him in weakness, He becomes our strength and we find Grace is there to do the impossible. Then we know it was not us, but the Lord. All praise goes to Him, and we retain nothing for ourselves.
See how many times the disciples tried to correct the Lord. See how many times they argued with the Lord. See how many time their thoughts contradicted the Master. See how many times they urged Him to take action. And the Lord, ever patient, would correct them. In every case we see that He is the Lord, and they are the disciples. The roles must never be confused. He is the Master, and we are His servants. We do not command Him, but He commands us. We do not direct Him, but He directs us. We do not lead Him, but He leads us. He was not created for us, but we were created for Him. He does not serve us according to our pleasure, but we serve Him according to His pleasure. So we must be adjusted to Him, and not the other way around. The Lord will never apologize to us and say, “I’m sorry, I was wrong. We’ll do it your way.” How laughable! How absurd! But we often live as if we expect Him to do that very thing. We have not humbled ourselves.
All those who want power with God must see that His power is released through our weakness (cf. II Corinthians 12:9). Do realize that you are weak whether you admit it or not, but the power of humility is in recognizing and agreeing before God that we really can do nothing of our own selves. God’s power is not for those with natural charisma, talent, leadership skills, education, training, or “connections”. God is not looking for volunteers to serve at their own convenience as their schedule permits, but calls for disciples who will lay down their lives. The flesh counts for nothing in spiritual matters. God’s power is not revealed to us when we are proud, but when we are humble. Any demonstration of “power” manifesting itself through a proud man or a proud woman is, quite simply, not from God and cannot be trusted. Spiritual gifts may be counterfeited, but spiritual fruit cannot be faked. We will know the false from the true by their fruit, not their gifts (Matthew 7:20). Meekness is an essential quality of spiritual fruit (Galatians 5:23). Gifts may accompany fruit, but gifts may never substitute for fruit.
The secret, then, is to…
SUBMIT YOURSELVES THEREFORE TO GOD
Do we need the power of God today? Do we seek the Life of the Lord today? Do we desire Him to have the preeminence in our lives today? Do we long for Him today? Then now is the time for us to be unconditionally and wholeheartedly surrendered to Him. We need not drag the process out for several days and weeks, months and years. “If any man will come after Me, let him deny himself, and take up his cross daily, and follow Me” (Luke 9:23). Do it today, do it now. If we must daily take up the cross anyway, let us bow our head and give up the ghost instead of struggling to stay alive, which only prolongs our agony. The secret to overcoming is dying daily.
If God gives Grace to the humble, then we should live a surrendered life so we can tap into grace. Die to Self, die to effort, die to trying, die to scheming. Stop wrestling, stop fighting, stop squirming, stop arguing, stop reasoning, stop bargaining, stop all that and just surrender, yield, give up, and lay down before Him! Humility is not some outward show, but a heart attitude that says in effect, “I will not resist the dealings of God. I will not argue with the Lord. I will not insist upon my own way. I recognize and admit that apart from Him I can do nothing. I am finished. Lord, I look to You to do in me and through me what I cannot do.” Friends, if we truly mean that when we say it then we will naturally spend more time praying, more time in the Word, more time ministering to God, because we will realize we do not know anything and we can not do anything without hearing from Him. If Christ is to have the preeminence in all things right HERE is where it begins. Humility is offering no resistance to the dealings of the Lord with us.
When we are submitted to the Lord, we find Grace. We find peace. We find rest. All things are in His hands, and He does all things well. We need not fear what any devil or any man can do to us. To be submitted to the Lord is to be under His care, under His guidance, under His power, under His protection. Whom shall I fear? What can man do to me? What can the devil do to me? If I have humbled myself beneath the mighty hand of God then He will exalt me in due season; He will justify me; He will defend me; He will fight for me. If our submission to God is complete, if our surrender to the Lord is total, then victory is assured. We will…
RESIST THE DEVIL, AND HE WILL FLEE
So many times we try to resist, but we are defeated. Why? Simply because we attempt to resist the devil before we have first submitted ourselves to God. There is a proper order that must be observed without fail. First, we must understand the principle of God resisting the proud but giving grace to the humble. This is the foundation of everything we do. Second, the word “therefore” signifies that those who learn this principle will act upon it accordingly. If they understand the truth just stated, they will submit “therefore” to God. Third, as a result of their submitting to God, they will find the devil flees whenever and wherever they offer him resistance. The word “flee” means “to run away in terror”. How wonderful! How delicious to see the devil running from us in terror, instead of the other way around! That should be the normal experience of all Christians. That is the normal Christian life, a life that overcomes.
The whole object of satan is to bring us down from the heavenly places in Christ (Ephesians 2:6) and entangle us into some kind of earthly, fleshly thing that saps us of our strength and diminishes spiritual authority. Knowing this, the Lord has us to pray daily, “Deliver us from evil” (Matthew 6:13ff). That is to say, “Deliver us from the earthly, the fleshly, the worldly, the carnal, the selfish, the natural, the human, where satan has influence to work evil against us. Deliver us from all that hinders and distracts us, and bring us into the Kingdom of Your dear Son, that we may walk in Spirit and Truth, in the heavenly places, demonstrating your preeminence over all things Below.” Brothers and sisters, praying in this way is what it means to resist the devil. He cannot stand before us when we take the high ground and maintain the Lord’s Testimony.
If we grow impatient and fall into the flesh then we become weaker. To react in the flesh diminishes spiritual authority, and this must be avoided at all costs. Allowing the flesh to have its way for only a moment guarantees defeat against a spiritual adversary. “We worship God in the Spirit, and rejoice in Christ Jesus, and have no confidence in the flesh” (Philippians 3:3). To lose all confidence in the flesh is to take the higher ground of the Spirit. To meet flesh with flesh means the victory will go to the strongest, and there is always someone stronger than you according to the flesh. Instead, if people come against you in the flesh, let them come against you. If they wish to rail and argue with you according to the flesh, do not respond in kind. If they attack you without cause, let them attack, because the fleshly, the carnal, the natural cannot defeat the spiritual. The one who is submitted to the Lord has authority over those who remain unsubmitted to Him. Flesh is overruled by Spirit. Hate is overruled by Love. Darkness is overruled by Light. Death is overruled by Life. Earth is overruled by Heaven. “He that comes from above is above all” (John 3:31ff).
We offer no resistance, no defense, no argument, no justification to people who mean us harm. We do not wrestle against flesh and blood (Ephesians 6:12a). We resist satan, not the person. We stand against the devil, taking no action against the instruments the devil uses. We submit to God, we offer no resistance to man, but we stand firm against the spiritual adversary. Outwardly, before others, we appear weak. But inwardly, before God, we are strong. “Though we walk in the flesh, we do not war after the flesh: for the weapons of our warfare are not carnal, but mighty through God to the pulling down of strongholds” (II Corinthians 10:3,4). If we war after the flesh then we are emptied of spiritual strength. If we war after the Spirit then we are emptied of fleshly strength. Which will you have, spiritual authority, or fleshly power? You can have either one you want, but you cannot have both.
We face perilous, dangerous times. The secret of spiritual power to see us through these times is humility. The arm of the flesh will fail us. Brothers and sisters, since we cannot avoid weakness, we may as well make the best possible use of it. Let us accept the dealings of the Holy Spirit with us and offer no resistance to Him. “Humble yourselves in the sight of the Lord, and He shall lift you up” (James 4:10). Amen.